Oleh Teuku Rahmad
Danil Cotseurani
Sungguh
pilu dan menyayat hati ketika masyarakat Aceh membaca tajuk berita di harian
Serambi Indonesia secara berturut-turut mengenai APBA, Kenduri Besar Para Elite, Uang Minum SKPA Rp 86 Milyar, daan Uang Perjalanan Dinas juga tanggapan
oleh para penyeimbang seperti LSM untuk meminta Mendagri atas sejumlah dana
yang dianggap dana “siluman” karena kegemukan dan berlebihan. Sangat rawan,
pemborosan keuangan daerah, manipulasi data
dan berindikasi untuk dikorup oleh para penyelenggara pemerintahan di
pemerintah Aceh.
Ternyata
dana-dana “siluman” itu selalu terulang dan ada Setiap tahun. Dan menjadi
masalah. Tahun lalu dana hibah yang di dalamnya ada item pembelian keranda,
celana dalam, beha, dan sebagainya. Sekarang sudah uang makan dan minum pula.
Padahal, kalaupun tidak ada uang makan minum, PNS itu juga tetap makan dan
minum karena mereka di gaji oleh pemerintah untuk melayani dan masyarakat dan
dalam gaji yang diterima sudah barang tentu cukup untuk makan, minum, beli BH,
jilbab, celana dalam dan lain sebagianya.
Jika
dilihat dari jumlah pegawai negeri sipil (PNS) di Provinsi Aceh saat ini
sekitar 9.200 orang, ditambah tenaga honorer/kontrak sekitar 8.000 orang,
sehingga totalnya Rp 17.200 orang, maka uang makan minum sebesar itu sangatlah
besar dan berlebihan. Betapa banyak kelebihan dan fasiltas yang diterima oleh
PNS, namun oleh pemerintah Aceh sendiri masih saja diplotkan untuk pos-pos
anggaran yang tidak masuk akal dan
mubazir, wajar saja jika Mendagri Tjahyo Kumolo mengirim surat evaluasi untuk
pengurangan secara signifikan, malah masyarakat mengharap dicoret dan dikoreksi
oleh mendagri.
Kalau
belanja aparatur lebih besar daripada belanja publik, maka hakikat rakyat
memilih pada pilkada akan tiada berarti. Karena
Gubernur dan wakil gubernur yang kita pilih telah lupa bahwa mereka
dipilih oleh rakyat dan seharusnya harus berbuat demi kepentingan rakyat, bukan
demi kepentingan dan fasilitas golongan dan kelompok tertentu. Dalam hal ini
rakyat atau masyarakatlah yang dirugikan.
Anehnya
pihak DPRA yang sejatinya mitra pemerintah Aceh dan terlibat sejak pembahasan
APBA kenapa tidak pernah menolak dan menghapuskan jika pengajuan
dana aparatur karena terlalu boros. Pihak DPRAseolah tak berdaya atau malah ada
“kepentingan”. Masalah lantaran Gubernur
Aceh, dr Zaini Abdullah mengancam akan mempergubkan APBA 2016.
Itu urusan lain. Disini Nampak kita lihat masih kurang harmonis antara para
penyelenggaran pemerintahan di Aceh dalam hal ini pihak eksikutif,
Gubernur/wakil Gubernur dengan pihak legislatif, DPRA.
Masalah
yang dikritik dan dievaluasi dari tahun ke tahun, terus-menerus seputar uang
makan minum, dana perjalanan dinas yang besar, dana tenaga ahli, biaya
pelatihan, hibah bansos, dan lainnya. Jika dilihat tidak ada program pro rakyat
yang akan berdampak langsung bagi rakyat Aceh baik jangka pendek, menengah atau
apalagi untuk jangka panjang. Mengapa tidak menjadi pengalaman dan pelajaran
ditahun-tahun sebleumnya, jika yang disorot seputar masalah habis pakai dan
bermuara ke toilet/wc. Masyarakat akan beranggapan pembahasan APBA adalah
ibarat kenduri besar para penyenggara pemerintahan di Aceh. Sesungguhnya koreksi
Mendagri itu memberikan arti atau isyarat kepada publik bahwa sampai tahun ini
Pemerintah Aceh bersama DPRA belum memiliki kekuatan politik yang kuat untuk
menyejahterakan dan pro kepada rakyatnya. Pada saat yang sama kondisi rakyat
Aceh dengan jumlah penduduk miskin di Aceh masih tinggi, pengangguran terus
bertambah, dan pertumbuhan ekonomi Aceh kecil.
Awal
tahun 2016 ini, Badan Pusat Statistik
(BPS) merilis Laporan Sosial Ekonomi , bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk
yang berada di bawah garis kemiskinan) di Aceh saat ini mencapai 859,41 ribu
orang (17,11%), di atas rata-rata Nasional sebesar 11,47%. Aceh menempati
urutan ke-2 termiskin di Sumatera setelah Bengkulu dan peringkat ke-7 termiskin
di Indonesia (peringkat 28 dari 34 provinsi di Indonesia). Ini fakta dan
realitas yang harus dipaparkan ke publik, bahwa sejauh mana kinerja para elite
yang telah rakyat pilih mereka diajang pemilu. Angka ini sangat memilukan diaat
yang sama Aceh adalah penerima dana Otsus dengan APBA mencapai belasan triliyunan tiap tahunnya. Ironi
memang inilah prestasi dan capaian orang nomor satu dan nomor dua di Aceh serta
DPRA. Tidak ada hasil nyata dan proyek multiyear yang bisa dirasakan oleh
rakyat Aceh yang masih duduk di peringat salah satu propinsi miskin, belum lagi
hasil migas kita yang berkurang sering padamnya operasional PT. Arun, LNG.
Selama
ini kebijakan yang ditempuh oleh pemerintah Aceh terhadap upaya pengentasan
kemiskinan belum tepat sasaran. Pemerintah seharusnya memprioritaskan alokasi
anggaran pada sektor pemberdayaan riil masyarakat miskin, membuka akses
lapangan pekerjaan atau akses bantuan modal usaha, sehingga roda perekonomian
masyarakat miskin bisa bergerak, bila pemerintah Aceh mau belajar dari krisis
ekonomi 1998 salahsatu sector yang bisa bertahan dari krisis moneter adalah
usaha kecil dan menengah rakyat (UMKM), mengapa tidak ada plot anggaran khusus
untuk menghdupkan ekonomi micro dan pemberdayaan masyarakat miskin melalui
koperasi danm usaha kecil/menengah rakyat, disamping mata pencaharian utama
rakyat Aceh sebagai petani dan nelayan. Sungguh APBA tidak untuk
kepentingan rakyat Aceh dan belum bisa
menyejahterakan rakyat Aceh dengan limpahan dana yang besar dari pemerintah
Pusat.
Belajar dari Ahok
Rasa Pemerintah Aceh dalam
hal ini gubernur Zaini Abdullah dan wakil gubernur Muzakkir Manaf harus belajar
dan meniru gaya kepemimpinan Ahok atau gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahja Purnama
dalam hal pengelolaan pemerintahan yang baik dan benar, terlepas dia bukan
muslim dan gaya pemerintahannya dianggap berhasil dan ada aksi nyata kepada
masayarakat ibu kota. Dia tidak segan-segan berhadapan dengan DPRK Jakarta
dalam ini diwakili oleh haji Lulung cs.
Ahok dianggap berhasil menjalankan tata kelola pemerintahan yang
transparan dan jujur dengan sistim E-Government, E-Budgeting dan E-Muresbang.
Sehingga tidak celah untuk tilep-tilep, manipulasi anggaran, pembengkakan
apalagi pemborosan seperti yang
dilakukan oleh pemerintah Aceh bersama DPRA.
E-Government
merupakan kependekan dari elektronik pemerintah. E-Governtment biasa dikenal
e-gov, pemerintah digital, online pemerintah atau pemerintah
transformasi.
E-Government adalah Suatu upaya untuk mengembangkan penyalenggaraan kepemerintahan yang berbasis elektronik. Suatu penataan system manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Atau E-Goverment adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan. e-Government dapat diaplikasikan pada legislatif, yudikatif, atau administrasi publik, untuk meningkatkan efisiensi internal, menyampaikan pelayanan publik, atau proses kepemerintahan yang demokratis.
E-Government adalah Suatu upaya untuk mengembangkan penyalenggaraan kepemerintahan yang berbasis elektronik. Suatu penataan system manajemen dan proses kerja di lingkungan pemerintah dengan mengoptimalkan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi. Atau E-Goverment adalah penggunaan teknologi informasi oleh pemerintah untuk memberikan informasi dan pelayanan bagi warganya, urusan bisnis, serta hal-hal lain yang berkenaan dengan pemerintahan. e-Government dapat diaplikasikan pada legislatif, yudikatif, atau administrasi publik, untuk meningkatkan efisiensi internal, menyampaikan pelayanan publik, atau proses kepemerintahan yang demokratis.
Ada
tiga model penyampaian E-Government, antara lain :a. Government-to-Citizen atau
Government-to-Customer (G2C) Adalah penyampaian layanan publik dan informasi
satu arah oleh pemerintah ke masyarakat, Memungkinkan pertukaran informasi dan
komunikasi antara masyarakat dan pemerintah, contohnya G2C : Pajak online,
mencari Pekerjaan, Layanan Jaminan sosial, Dokumen pribadi (Kelahiran dan Akte
perkawinan, Aplikasi Paspor, Lisensi Pengarah), Layanan imigrasi,
Layanan kesehatan, Beasiswa, penanggulangan bencana. b. Government-to-Business (G2B) Adalah transaksi-transaksi elektronik dimana pemerintah menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan bagi kalangan bisnis untuk bertransaksi dengan pemerintah.Mengarah kepada pemasaran produk dan jasa ke pemerintah untuk membantu pemerintah menjadi lebih efisien melalui peningkatan proses bisnis dan manajemen data elektronik. Aplikasi yang memfasilitasi interaksi G2B maupun B2G adalah Sistem e-procurement. Contoh : Pajak perseroan, Peluang Bisnis, Pendaftaran perusahaan, peraturan pemerintah (Hukum Bisnis), Pelelangan dan penjualan yang dilaksanakan oleh pemerintah, hak paten merk dagang, dll c. Government-to-Government (G2G) Adalah Memungkinkan komunikasi dan pertukaran informasi online antar departemen atau lembaga pemerintahan melalui basisdata terintegrasi. Contoh : Konsultasi secara online,blogging untuk kalangan legislative, pendidikan secara online, pelayanan kepada masyarakat secara terpadu.
Layanan kesehatan, Beasiswa, penanggulangan bencana. b. Government-to-Business (G2B) Adalah transaksi-transaksi elektronik dimana pemerintah menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan bagi kalangan bisnis untuk bertransaksi dengan pemerintah.Mengarah kepada pemasaran produk dan jasa ke pemerintah untuk membantu pemerintah menjadi lebih efisien melalui peningkatan proses bisnis dan manajemen data elektronik. Aplikasi yang memfasilitasi interaksi G2B maupun B2G adalah Sistem e-procurement. Contoh : Pajak perseroan, Peluang Bisnis, Pendaftaran perusahaan, peraturan pemerintah (Hukum Bisnis), Pelelangan dan penjualan yang dilaksanakan oleh pemerintah, hak paten merk dagang, dll c. Government-to-Government (G2G) Adalah Memungkinkan komunikasi dan pertukaran informasi online antar departemen atau lembaga pemerintahan melalui basisdata terintegrasi. Contoh : Konsultasi secara online,blogging untuk kalangan legislative, pendidikan secara online, pelayanan kepada masyarakat secara terpadu.
Lalu
Ahok sukses dengan E-Budgetingnya, yang membuat getar- getir para anggota dewan
Jakarta dengan pembahasan APBD provinsi Jakarta. e-Budgeting adalah sistem
saling mengawasi anggaran agar terciptanya keadilan untuk rakyat ,
bersih,transparan,professional dan akuntabilitas dalam penyusunan
anggaran dalam suatu daerah.Jadi dengan adanya sistem ini masyarakat dapat
melihat anggaran apa saja yang dibuat atau di ajukan. Beberapa kali Ahok
terlibat perseteruan panas dengan para anggota dewan provinsi Jakarta, baik
mengenai belanja publik sampai masalah UPS ke sekolah-sekolah di DKI Jakarta.
Intinya Ahok bekerja dengan sistim yang dia bangun dalam pemerintahnnya. Karena
dengan sistem ini masyarakat jadi lebih percaya.Penerapan sistem juga sesuai
dengan semangat Peraturan Pemerintah nomor 58 tahun 2005 yang menyatakan
bahwa keuangan daerah harus dikelola secara tertib, taat pada peraturan
perundang - undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung
jawab dengan memperhatikan keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk
masyarakat.Pengertian Transparansi dalam PP 58/2005 ini diartikan sebagai
prinsip keterbukaan yang memungkinkan masyarakat untuk mengetahui dan
mendapatkan akses informasi seluas - luasnya tentang kuangan daerah dan diatur
dalam Peraturan Mentri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006.
Selanjutnya
sukses Ahok dengan E-Musrenbangnya, yang diapilkasikan dalam tata kelola
pemerintahan DKI Jakarta. E-Musrenbang adalah aplikasi perencanaan berbasis
website yang dibangun untuk mendukung upaya sinergi perencanaan antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam penyusunan Rencana Kerja
Pemerintah baik di Pusat maupun di Daerah. Aplikasi ini dibangun dan
dikembangkan oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan
Perencanaan Pembangunan Nasional (Kementerian PPN/Bappenas). Terhitung mulai tahun ini, Pemerintah
Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta menggunakan sistem elektronik dalam setiap
kegiatan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) tingkat kelurahan,
kecamatan, kota, hingga provinsi. Penggunaan sistem elektronik yang disebut
E-Musrenbang ini dilakukan agar masyarakat Jakarta dapat mengetahui rencana
pembangunan yang akan dikerjakan di 2016 mendatang.
Hadirnya KPK
Tidak
ada salahnya jika pemerintah Aceh dan DPRA sama bersinergi demi pembanganunan
dan kemajuan Aceh dengan belajar seperti hal yang diterapkan pemerintah
provinsi DKI Jakarta, sebab Jakarta adalah barometer Indonesia, selain karena
ibukota pemeintahan juga provinsi yang paling cepat disorot jika ada kendala
dan masalah dalam pembangunan dan tata kelola pemerintahannya.
Melihat
fenomena yang tejadi saban tahun di Aceh tentang pengesahan dan pengajuan APBA
selalu ada koreksi dari kemendagri tepat rasanya jika sistem yang bekerja dan
dikelola secara baik oleh para penyelenggara pemerintahan di Aceh terlebih lagi
dana yang besar dikucurkan oleh pemerintah pusat karena ke khusususan provinsi
Aceh bersama provinsi Papua dan Papau Barat. Dana yang besar rawan sekali
terjadi penyalahgunaan dan korupsi di dalamnya.
Dalam beberapa paparan para
pegiat LSM di Aceh juga sangat merindukan kehadiran KPK untuk masuk ke Aceh dan
memeriksa sejumlah aliran dana dari pusat ke Aceh, seolah-olah kita merasa
fungsi Kepolisan dan Kejaksaan di Aceh belum berani menangkap para koruptor dan
penyalahgunaan wewenang di Aceh. Deputi Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan
menyebutkan bahwa Provinsi Sumut, Riau, dan Banten dipanggil karena kasusnya
banyak. Sedangkan Aceh, Papua, dan Papua Barat dipanggil terkait Dana Otonomi
Khusus yang lumayan besar (Serambi, 14/1/2016). Fokusnya untuk melihat
pengelolaan anggaran daerah, mekanisme bantuan sosial, pengadaan barang dan
jasa, serta pelayanan satu pintu terkait izin konsesi sumber daya alam.KPK kemudian
dikabarkan mulai menyoroti APBA (Serambi, 3/2/2016). Wajar saja masyarakat
Aceh berharap KPK segera menginjak kakinya di Aceh, walau sebelumnya KPK sudah
memproses Bupati Bener Meriah, terkait korupsi yang dilakukan pada BPKS Sabang
beberapa tahun yang lalu, tapi seolah-olah hilang informasi dari media terkait
hal itu.
Masyarakat
Aceh tentu tidak ingin pemimpin kita mengikuti jejak gubernur Sumtera Utara,
gubernur Riau, dan beberapa gubernur lainnya di Sumatera harus berurusan dengan
KPK dan harus mendekam di balik jeruji besi karena tata kelola pemerintahan
yang amanahkan rakyat tidak dijalankan dengan baik dan benar, melawan hukum,
korupsi dan penyalahgunaan wewenang, sudah cukup mantan gubernur Aceh Abdulah
Puteh yang merasakannya, disamping itu
citra nama Aceh akan tercoreng jika para
pejabatnya dijerat KPK dan penegak hukum lainnya. Rakyat Aceh sangat merindukan
pasangan pemimpinnya hasil pilkada 2017 mendatang dapat harmonis dalam
menjalankan roda pemerintahan jangan sampai pecah kongsi sampai belum berakhir
masa jabatannya seperti yang terjadi sekarang dan periode sebelumnya, juga
kolaborasi yang sempurna dengan DPRA demi pembangunan Aceh.
Semoga
jangan sampai setelah masa dana otsus selesai yang akan berakhir tahun 2027, banyak para pejabat,elite politik dan
kelompok-kelompok pendukunganya yang hidup mewah puluhan tahun yang akan
datang. Merupakan hasil dari bisnis untuk kepentingan pribadi dan kelompok yang
dikerjakan dan dinikmati selama masa otsus tersebut untuk memperkaya diri yang akan diduga kuat didanai dengan uang
rakyat. Akan memetik hasil dan mendekam dipenjara di hari tuanya. Nah!
*)
Teuku Rahmad
Danil Cotseurani
Auditor
d.a Kompleks
Perumahan PT. AAF
Aceh Utara –
Aceh
Indonesia
24354
No comments:
Post a Comment