Monday, November 6, 2017

Perubahan Bendera Aceh



Menarik menyimak pemberitaan dalam beberapa pekan terakhir ini dan khususnya di bulan Desember karena pada bulan tersebut di samping ada peristiwa tentang mengenang tsunami dan ada juga peristiwa bersejarah yaitu Milad GAM, berita tentang bendera Aceh yang masih belum tuntas sampai sekarang ini karena belum mendapat restu dari pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini Kementerian dalam negeri (kemendagri) masih menjadi harap-harap cemas bagi sebagian rakyat Aceh dan para anggota DPRA dari partai Aceh pada khususnya.
Mereka telah melahirkan, mempejuangkan dan mengundangkan salah satu butir dari Undang-undang Pemerintah Aceh (UUPA) tentang Bendara, lambang dan hymne Aceh.
Presiden dan menteri dalam negeri Republik Indonesia sudah berganti kekuasaan dari Presiden SBY ke Presiden Jokowi dan dari Gamawan Fauzi ke Tjahjo Kumolo namun belum juga disahkan secara resmi tentang bendera dan lambang Aceh.
Alasan pemerintah Republik Indonesia untuk tidak menyetujui bendera Aceh karena mirip dengan bendera GAM yang dianggap dulu separatis dan kini sudah berdamai pasca 15 Agustus 2005 dengan ditandatanganinya perjanjian Helsinki di Finlandia.
Berlarut-larutnya pembahasan dan penyetujuan tentang bendera Aceh di kementerian dalam negeri sampai harus beberapa kali diadakan pertemuan antara tim lobi pemerintah Aceh dan pemerintah Republik Indonesia sampai harus ada colling down, membuat wagub Aceh Muzakir Manaf atau yang disapa mualem ketika itu untuk setuju merubah bendera Aceh, Bulan Bintang. Hal ini sangat mendasar, karena dulu waktu lahirnya Partai Aceh juga mendapat penolakan dari Kementrian hukum dan HAM (kemenkumham) mengenai bendera partai yang dianggap mirip dengan bendera GAM. Dan akhirnya setelah beberapa kali negosiasi antara pengurus Partai Aceh dan kemenkumham disepakati dengan perubahan bendera partai Aceh seperti yang sekarang.
Hal yang sama sekarang ketika DPRA Aceh periode sebelumnya dan periode sekarang ini ketika melahirkan dan mengundangkan bendera daerah Aceh dan lambang daerah Aceh mendapatkan penolakan dari kemendagri. Sudah seharusnya anggota DPRA, Gubernur Aceh dan masyarakat Aceh untuk melunak dan menerima opsi dari pemerintah Republik Indonesia untuk mengubah bentuk bendera Aceh yang pernah dilakukan pada waktu lahirnya Partai Aceh. Diubah saja bendera Aceh tersebut dengan seperti bendera Partai Aceh yang terdiri dari warna kontras merah, di tengah-tengah bulan dan bintang di sisi atas dan bawah les warna hitam diapit oleh warna putih, sedangkan di sisi kanan diberi warna latar putih dan teks tulisan Aceh menurun ke bawah seperti pada bendera Partai Aceh.
Dengan perubahan seperi ini sama halnya seperti perubahan pada bendera partai Aceh yang membedakan adalah jika bendera partai Aceh di tengah ada teks ACEH dan di sisi kanan ada teks PARTAI, sementara untuk bendera daerah Aceh di tengah ada logo BULAN BINTANG dan disisi kanan ada teks ACEH dengan kombinasi warna yang sama merah, hitam dan putih seperti warna pada bendera partai Aceh. perubahan seperti ini tidak akan mengubah makna, arti dan hakikat dari bendera daerah Aceh yang telah diidam-idamkan oleh rakyat Aceh dan merupakan amanah MoU Helsinki yang sampai saat ini turunan belum diaplikasikan dan diterapkan oleh pemerintah Aceh dan pemerintah Republik Indonesia.
Semoga saja anggota DPRA yang baru sekarang tidak berlarut-larut lagi pembahasan tentang bendera Aceh dan wakil gubernur juga sudah merespon untuk diubah bendera Aceh dan dapat diterima oleh rakyat Aceh seperti perubahan pada bendera Partai Aceh yang bisa diterima oleh masyarakat Aceh dan tetap melambangkan dan kekhasan Aceh.

Thursday, October 5, 2017

Kedaulatan Rakyat Terhadap Air Dengan Wakaf



Wakaf adalah perbuatan hukum wakif (pihak yang melakukan wakaf) untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum sesuai syariah. Selama ini kita mengenal wakaf Cuma dalam bentuk tanah dan harta tidak bergerak saja, hak milik atas rumah dan tentu saja berbentuk uang. Ternyata wakaf air juga diatur dalam islam demi kemaslahantan ummat dan rakyat.
Adalah Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam Majelis Ulama Indonesia (LPLH dan SDA-MUI) menggelar Focus Group Discussion dengan tema “Menuju Kedaulatan Air dengan Wakaf: Menegakkan Amanat Konstitusi dan Syariat Islam”, (28/7) lalu. Bertempat di Gedung MUI, Jakarta. Dalam rangka menindaklanjuti dibatalkannya Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air (UU SDA).
Dalam pandangan MUI, sejauh ini kewenangan pengelolaan air terdistribusi kepada terlalu banyak lembaga dan perusahaan . Akibatnya, Indonesia kehilangan orientasi kolektif dalam membangun akses air minum masyarakat. Di sisi lain, saat terjadi krisis air tak satu pun lembaga negara yang bisa dimintai pertanggungjawaban. Oleh karena itu, perlu dilakukan tindak lanjut oleh seluruh pemangku kepentingan untuk menegakkan amanah konsitusi dimana air harus dikembalikan ke domain publik, dikelola untuk kesejahteraan orang banyak (ummat dan rakyat).
Dalam sambutannya, Wakil Ketua DPR RI bidang Kesejahteraan Rakyat Fahri Hamzah menyampaikan tiga poin penting terkait sikap dan posisi DPR menanggapi permasalahan air di Indonesia. Pertama, dalam agenda besar kedaulatan air, DPR secara politis dan kelembagaan akan berjuang bersungguh-sungguh untuk mewujudkan keinginan ulama, para pihak, dan rakyat akan terbukanya akses rakyat akan air. 
Kedua, DPR juga berkomitmen untuk melakukan pembahasan UU Sumber Daya Air secara terbuka, transparan, dan memenuhi rasa keadilan. Komisi terkait dan Badan Keahlian DPR yang melakukan pembahasan UU SDA di tahun 2017, DPR telah meminta masukan Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (KRuHA) dan beberapa lembaga terkait. 
Ketiga, DPR juga akan berkomitmen bahwa prinsip-prinsip dasar kedaulatan air, yaitu: a) Air sebagai milik umum dimana rakyat memiliki akses atasnya; b) Rakyat mendapatkan kualitas yang layak atas air; c) Dipergunakan untuk kemakmuran dan kesejahteraan; d) Dikelola kelembagaannya oleh negara; e) Dimanfaatkan oleh publik atas azas kekeluargaan (ada mekanisme publik untuk mengontrol); f) Menolak monopoli, oligopoli, dan rente dalam penguasaan air; g) Dimanfaatkan untuk memuliakan kemanusiaan dan kehidupan; semua prinsip itu nanti akan tertuang dalam UU SDA yang baru. 
Keempat, DPR akan menjadi jembatan yang menyinergikan rencana MUI dan banyak pihak atas cita-cita kedaulatan air terwujud. “Skema menurunkan atau mengkonversi manfaat barang atau dana wakaf umat untuk program kedaulatan air di berbagai daerah rawan air di Indonesia dalam bentuk penyediaan infrastruktur, dan lain sebagainya, memerlukan seperangkat peraturan dan kesepahaman bersama antarberbagai pihak dan lembaga,” ujar Fahri seraya meminta agar MUI memberikan rekomendasi untuk dapat diagendakan untuk bertemu dengan komisi-komisi di DPR.

Alternatif Pendanaan
Saat ini ada 436 perusahaan yang melayani 512 kota kabupaten di Indonesia yang melayani 67 juta. Sasaran Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) adalah 4K, yaitu kualitas, kuantitas, kuantitas, dan keterjangkauan. Setidaknya ada tiga aspek mendasar yang menjadi permasalahan yang dihadapi perairminuman Indonesia. “Regulasi dan ketidakpastian peraturan menjadi masalah dalam tiga aspek, yaitu ketersediaan air baku, kelembagaan, dan pembiayaan.
Dalam hal ketersediaan air baku, masalah yang muncul menyangkut perizinan hingga konflik antarpengguna. Dalam hal kelembagaan, maraknya (booming) pelaku baru juga menjadi masalah. Terakhir dalam aspek pembiayaan, hal ini menyangkut penyelesaian utang, aset, tarif, dan investasi.
Disamping masalah legislasi tersebut di atas, pemerintah juga menghadapi kendala pendanaan untuk pembangunan bidang air minum. Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Dirjen Cipta Karya menyatakan bahwa kebutuhan biaya untuk menangani air minum 2015-2019 adalah sebesar Rp 253,9 triliun. Dengan ketersediaan dana APBN 2015-2019 sebesar Rp 33,9 triliun, maka perlu disusun skenario pesimis dimana ketersediaan dana lainnya juga mengikuti tren ketersediaan dana sebelumnya, yaitu hanya terpenuhi Rp 100,1 triliun.
Sementara itu,pihak Kementerian PUPR dalam jangka waktu lima tahun kedepan masih membutuhkan pembangunan air minum dengan anggaran Rp 275 triliun, sedangkan untuk sanitasi kebutuhannya adalah Rp 273,7 triliun. Dengan angka sebesar itu, Indonesia menjadi negara dengan proporsi pendanaan sektor air minum dan sanitasi terendah di dunia, yaitu kurang dari satu persen dari APBN atau sekita 0,2 persen dari PDB. Masih terkait hal itu oleh pihak kementrian PUPR  mendorong pola kolaborasi pendanaan lainnya seperti PNPM, dana desa yang selanjutnya adalah alternatif pendanaan dari kontribusi masyarakat berupa ZISWAF (Zakat Infak Sadakah dan Wakaf). 

Model Wakaf Air
Menjawab permasalahan tersebut, para pengamat ekonomi syariah, kiranya Kalau PDAM butuh uang tak perlu berutang, nanti tawarkan saja kepada pewakaf, sehingga nanti ada sebagaian keuntungan akan diberikan mauquf alaih. Karena, mekanisme yang ada saat ini mekanisme pasar, siapa yang memiliki akses ke sumber air terbaik akan mempunyai akses kapital. 
Model waqaf mata air yang dapat dilakukan perbankan syariah dewasa ini. Tugas bank syariah adalah membuat program agar memperkokoh kedaulatan air kepada masyarakat dengan bekerja sama dengan pihak yang mempunya mata air mengalir dan perusahaan air minum semisal PDAM,yang bisa diakses air dan untuk kepentingan umum sehingga  membuat semakin dekat nasabah dengan sang Khalik, konsep itulah yang kemudian disebut “dakwah first, business follow”.
Pemerintah disamping dengan PDAM, Pemerintah Daerah, kementerian terkait dan  Ketua Lembaga Pemuliaan Lingkungan Hidup dan Sumber Daya Alam MUI perlu kiranya bersinergi, karena pentingnya masalah air, sementara itu payung hukum dari MUI telah menetapkan Fatwa MUI No. 001/MUKNAS-IX/MUI/2015 tentang Pendayagunaan Harta Zakat, Infaq, Sedekah dan Waqaf untuk Pembangunan Sarana Air Bersih dan Sanitasi Bagi Masyarakat. Tinggal bagaimana pengelolaanya apa mungkin dengan wakaf bisa mendulang kedaulatan rakyat terhadap air yang muaranya pada kesejahteraan dan kemakmuran rakyat atau masyarkat.
Seperti wakaf berbentuk tanah yang notabene bisa langsung dimamfaatkan untuk kepentingan dan kesejahteraan ummat, tapi pada kenyatannya belum ada badan khusus yang menangani wakaf terutama sekali di Aceh. aset tanah wakaf di Aceh yang seluas itu tidak dapat memberikan kontribusi yang positif untuk sosial ekonomi masyarakat dalam kaitannya dengan pengentasan kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan. Hal ini terlihat dari data yang dikeluarkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh 2016 mengenai total penduduk miskin di Aceh yang mencapai 851.590 orang (17,08%) dari total penduduk Aceh yang berjumlah 5.002.000 orang. 
Hendaknyanya wakaf air bisa dimasukkan juga seperti halnya wakaf tanah atau uang dalam tata kelola perwakafan di Aceh nantinya. Kondisi ini perlu segera ditangani dengan mengambil beberapa terobosan strategis seperti penguatan regulasi, penguatan sumber daya manusia (SDM) pengelola wakaf, dan mengembangkan wakaf melalui proyek percontohan di Aceh dan Indonesia.
Tersebutlah bagaimana percontohan di Malaysia dan Singapura, untuk menjadi pilot proyek. Model pembiayaan kompleks komersial ini bisa saja mengikuti model pembangunan Menara Bank Islam 34 tingkat, sebesar US$49 juta atau lebih kurang Rp 655 miliar, di atas tanah wakaf almarhum Ahmad Dawjee Dadabhoy di kawasan segi tiga emas Kuala Lumpur, Malaysia, dengan konsep bangun guna serah (BOT). Proyek yang dimulai pada Juli 2007 ini selesai pada Oktober 2010 lalu.
Pemerintah Aceh juga bisa mencontoh inisiatif yang diambil oleh Majlis Ugama Singapura (MUIS) dengan anak perusahaannya Warees (Wakaf Real Estate Singapore) dalam membangun dua bidang tanah di Jalan Bencoolen dengan skim obligasi syariah musyarakah. Tanah yang pada awalnya berdiri masjid yang sudah tua itu dibuat gedung bertingkat yang terdiri dari sebuah masjid modern, tiga tingkat gedung komersial dan 12 tingkat apartemen yang semuanya berjumlah 84 unit.
Konon lagi wakaf yang monumental dan fenomenal wakaf tanah di Masjidil Haram, Mekkah, Saudi Arabia apa yang disebut Baitul Asyi yang terus memberi kompensasi kepada jamaah haji asal Aceh atas keuntungan atas tanah wakaf dari Habib Bugak dari Aceh. Tinggal pengelolaan saja yang transparansi dan akuntabel dari pemerintah Aceh, itu harapan kita kepada pemerintahan  Irwandi Yusuf dan Nova Iriansyah.
Begitu banyak potensi yang Islam tawarkan dalam segi ekonomi mulai dari zakat, infak, sadakah, mualamah sampai wakaf bisa jadi kekuatan ekonomi ummat Islam, sayangnya kita orang Islam sendiri tidak mau mengamalkan hal itu. Tentu saja belum terlambat untuk memulainya karena semua sudah ada pedoman dalam Al Quran dan Sunnah. Nah !

*) Penulis adalah
Bagian Akuntansi, Audit dan Pelaporan
/Penata Laporan Keuangan
PDAM Tirta Krueng Meureudu
Pidie Jaya - Aceh - Indonesia 24186


Monday, August 14, 2017

Saatnya Akuntan Masuk Desa


Oleh Teuku Rahmad Danil Cotseurani

Pemerintah telah menetapkan lahirnya  UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa, dimana setiap desa mendapatkan dana segar sebesar Rp. 1,4 Milyar. Dana tersebut akan dibayarkan secara bertahap, dan tahap pertama pembayaran dimulai bulan April 2015. Yang masih menjadi kendala hingga kini pemerintah belum mengeluarkan peraturan pemerintah yang mengatur pengelolahan keuangan desa. Padahal dana tersebut akan diaudit langsung oleh BPK, jika tidak hati-hati dana desa justru menjadi bumerang yang mengirim banyak aparat desa masuk penjara.

Terkait hal ini headline harian serambi Indonesia, (8/8/2017) menurunkan berita Saber Pungli Ikut Awasi Dana Desa. Dimana sudah ditetapkan 83 tersangka dengan berbagai kasus dengan nilai barang bukti Rp 796 juta. Rata-rata penyimpangan dana desa karena tidak transparan dan tidak tertib administrasi. Penggunaan dana desa seharusnya terbuka agar masyarakat umum mengetahui realisasi anggaran yang telah dikucurkan dan sasarannya. 

Jumlahnya dana desa semakin besar digelontorkan, tentu membutuhkan tenaga yang ahli dalam mengelola dana tersebut agar tujuan penggunaan dana tersebut yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai. Bahwa mahasiswa jurusan akuntansi setelah lulus jangan lagi berorientasi untuk bekerja di kota (bekerja di perusahaan) akan tetapi sudah saatnya untuk mengabdikan ilmunya di desa nantinya praktik akuntansi keuangan desa  berupa penggunaan aplikasi Siskeudes. Tidak tertutup kemungkinan ada program Akuntan Masuk Desa.

Untuk memanfaatkan aplikasi SIMDA atau Siskeudes sebagai sarana pelatihan dan aplikasi SIMDA Keuangan sudah terintegrasi dengan bank daerah, e-audit, DJP, Taspen, DJPK (SIKD/komandan) dan Sirup LKPP. Pemerintah tentu mengharapkan agar tidak hanya kepada mahasiswa akan tetapi para dosen dan pegawai negeri sipil yang berlatar belakang akuntansi juga diberikan pembekalan terkait teori dan praktik akuntansi keuangan daerah dan desa.

Dalam penyusunan laporan keuangan desa berpedoman pada standar akuntansi yang berlaku. Minimnya pengetahuan akuntansi aparat desa akan menyulitkan penyusuan pelaporan keuangan desa. Selama ini pencatatan keuangan desa memakai sistem single entry, sedangkan akuntansi modern mengenal sistem yang namanya double entry atau debit dan kredit. Untuk mempercepat implementasi pelaporan keuangan desa bisa dengan mengirim para sarjana akuntansi masuk desa atau menggandeng Ikatan Akuntan Indonesia (IAI) sebagai mentor. Yang menjadi pertanyaan para sarjana akuntansi masih banyak yang belum paham dengan standar Akuntansi Pemerintahan (SAP) apalagi aparat desa yang tidak pernah bersentuhan dengan akuntansi.

Dengan jumlah kurang lebih 78.000 desa di Indonesia terbayang betapa beratnya tugas pemerintah untuk memberlakukan standar pelaporan yang berbasis double entry. Sebagian besar SDM di desa tidak memahami alur akuntansi yang standar. Melibatkan tim dari IAI sangat bagus namun menjadi masalah jika kemudian hari IAI menjadikan sebagai proyek besar untuk meraih pundi-pundi rupiah. Tidak perlu banyak pelatihan, simposium atau seminar yang menghabiskan banyak duit. Cukup langsung melakukan training on job kepada bendaharawan dan kepala desa masing-masing dengan mengefisienkan biaya.

Kementerian PDTT menjadi koordinator pendampingan dengan melibatkan pihak-pihak yang kompeten. Hal ini perlu agar mereka yang kompeten itu dapat memastikan bahwa penyerapan anggaran dana desa tersebut berjalan transparan dan akuntabel, sehingga tidak akan menimbulkan masalah hukum di kemudian hari. Pendampingan ini diperlukan mengingat dana desa merupakan hal yang baru. Sehingga, kata Menkeu, aparat desa belum terbiasa melakukan pengelolaan dan penyusunan laporannya sesuai dengan standar akuntansi yang baik. “Undang-Undang Desa ini adalah hal baru. Pemerintah desa belum terbiasa dengan pengelolaan dana yang jumlahnya relatif lebih besar daripada yang pernah diterima sebelumnya.

Sebuah langkah besar sedang dirintis oleh pemerintah dengan memberlakukan standar akuntansi di setiap desa. Tahun 2015 ini salah satu tahun hebat bagi dunia akuntansi, sebelumnya menyusul penandatanganan mutual recognition arrangements (MRA) antara negara ASEAN dimana profesi akuntansi merupakan salah satu dari 8 profesi yang bisa go international, selain go internasional kini Akuntan bisa masuk desa. Bagi dunia pendidikan akuntansi ini merupakan peluang besar untuk memberdayakan tenaga akuntansi. Kampus-kampus lebih banyak lagi memberi pelajaran mata kuliah akuntansi pemerintahan bukan hanya 3 SKS seperti zaman saya dahulu. Mahasiswa akuntansi yang KKN atau praktek magang tidak melulu di perusahaan tapi juga di desa, Akuntan Masuk Desa. 

Dana Desa
               Ketua IAI Kompartemen Akuntan Sektor Publik (KASP), Dadang Kurnia, memastikan IAI sebagai organisasi profesi akuntan siap melakukan pendampingan untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dana desa itu. Sehingga pengelolaan dana desa itu dapat sesuai aturan dan berjalan secara transparan dan akuntabel. 

“Konsepnya kami sebut ‘Akuntan Masuk Desa.’ Konsepnya sebenarnya bukan akuntan yang datang ke desa, tapi justru IAI membuat akuntansi ini bisa dipahami oleh pelaku di desa,” ia menjelaskan. “Kantor Jasa Akuntansi (KJA) harus didorong untuk masuk ke desa. Jadi desa tidak harus merekrut tenaga akuntan baru karena pasti akan sangat costly. Namun pada kenyataannya mengingat lowongan kerja juga semakin kecil dewasa ini, tidak tertutup kemungkinan juga bahwa para tamatan jurusan akuntansi atau eks mahasiswa akuntansi langsung terjun dan bekerja bersama aparat desa untuk mengelola dana desa tersebut. Kenapa tidak akuntan masuk desa dan bekerja di desa, sebagaimana profesi lain yang juga sama-sama harus berada di desa seperti dokter, bidan, perawat maupun TNI/Polri.

Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT), Eko Putro Sandjojo, mangatakan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) harus dipublikasi kepada masyarakat yang diterakan dalam bentuk baliho dan dipampangkan di depan kantor kepala desa. Keharusan memublikasi APBDes itu kembali diulang Menteri PDTT, karena masih banyak desa yang belum melakukannya. Padahal, tujuannya sangatlah bagus agar masyarakat juga bisa melihatnya dan melakukan pengawasan terhadap penggunaan dana desa.

Maka sangatlah tepat anjuran Menteri PDTT tersebut dipatuhi oleh para keuchik atau kepala desa di Aceh dan seluruh Indonesia. Segeralah publikasikan APBDes di kantor-kantor desa. Semua itu dalam rangka menjaga transparansi dan keterbukaan informasi publik, di samping untuk mencegah munculnya fitnah maupun penyalahgunaan dalam pemanfaatan dana desa dan ADG.

Di samping perlunya dipublikasi APDes di setiap desa, kepala dan sekretaris desa pun perlu pula secara berkala melaporkan realisasi anggaran yang sudah digunakan. Dengan demikian, masyarakat desa bisa dengan cepat mengetahui untuk apa saja setiap rupiah dana desa digunakan. Sebaliknya, apabila ada penggunaan dana desa untuk hal-hal yang tidak semestinya, maka warga desa bisa langsung memprotes atau mengoreksinya. Seharusnya, dalam pengelolaan keuangan desa, perlu selalu kita beri ruang bagi warga untuk mengawal dan mengontrolnya, sehingga tidak terjadi penyimpangan ataupun penyalahgunaan dana desa maupun alokasi dana gampong. Pendeknya, di tingkat desa pun tetap kita hambat peluang elitenya menjadi koruptor yang berakhir dipenjara.

Akuntansi Keuangan Desa
Definisi Pengelolaan Keuangan Desa Dengan diberlakukannya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka yang menjadi perhatian kita bersama adalah bagaimana selanjutnya pemerintahan desa mengelola keuangan dan mempertanggungjawabkannya. Menurut pasal 71 ayat (1) UU Nomor 6 Tahun 2014 dinyatakan bahwa Keuangan Desa adalah hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Selanjutnya pada ayat (2)nya dinyatakan bahwa adanya hak dan kewajiban akan menimbulkan pendapatan, belanja, pembiayaan, dan pengelolaan Keuangan Desa.

Dengan diberlakukannya Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, maka kita coba jabarkan apa yang sebelumnya diatur pada UU Nomor 6 Tahun 2014, di antaranya : Pasal 93 ayat (1) menyatakan bahwa pengelolaan keuangan Desa meliputi : perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban. Berdasarkan pasal 105 dinyatakan ketentuan mengenai pengelolaan keuangan Desa akan diatur dalam Peraturan Menteri ( maksudnya Menteri Dalam Negeri).

Selanjutnya pasal 94 menyatakan bahwa pengelolaan keuangan Desa dilaksanakan dalam masa 1 (satu) tahun anggaran terhitung mulai tanggal 1 Januari sampai dengan 31 Desember.  Kepala Desa menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/Walikota setiap semester tahun berjalan. Laporan semester pertama disampaikan paling lambat pada akhir bulan Juli tahun berjalan. Sedangkan laporan semester kedua disampaikan paling lambat pada akhir Januari tahun berikutnya. Bahwa selain penyampaian laporan realisasi pelaksanaan APBDesa, kepala Desa juga menyampaikan laporan pertanggungjawaban realisasi pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/Walikota setiap akhir tahun anggaran. Laporan tersebut merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa kepada Bupati/Walikota melalui Camat atau sebutan lain setiap akhir tahun anggaran.

Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa) APBDesa pada dasarnya adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Desa. APBDesa terdiri atas : 1. Pendapatan Desa Meliputi semua penerimaan uang melalui rekening desa yang merupakan hak desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak perlu dibayar kembali oleh desa. Pendapatan desa diklasifikasikan menurut kelompok dan jenis. 2. Belanja Desa Meliputi semua pengeluaran dari rekening desa yang merupakan kewajiban desa dalam 1 (satu) tahun anggaran yang tidak akan diperoleh pembayarannya kembali oleh desa. Belanja desa dipergunakan dalam rangka mendanai penyelenggaraan kewenangan desa dan diklasifikasikan menurut kelompok, kegiatan, dan jenis. 3. Pembiayaan Desa Meliputi semua penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun pada tahun-tahun anggaran berikutnya. Pembiayaan desa terdiri atas Penerimaan Pembiayaan dan Pengeluaran Pembiayaan yang diklasifikasikan menurut kelompok dan jenis.

Pengelolaan Keuangan Desa Sebagaimana telah dinyatakan sebelumnya, pengelolaan keuangan Desa meliputi: perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban yang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Perencanaan a. Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa dibuat, disampaikan oleh Kepala Desa, dan dibahas dengan Badan Permusyawaratan Desa untuk disepakati bersama paling lambat bulan Oktober tahun berjalan. b. Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa yang telah disepakati disampaikan oleh Kepala Desa kepada Bupati/Walikota melalui camat atau sebutan lain paling lambat 3 (tiga) hari sejak disepakati untuk dievaluasi. c. Bupati/Walikota melakukan evaluasi paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa.Dalam hal Bupati/Walikota tidak melakukan evaluasi dalam batas waktu tersebut, maka Peraturan Desa berlaku dengan sendirinya. d. Dalam hal ada koreksi yang disampaikan atau penyesuaian yang harus dilakukan dari hasil evaluasi tersebut, maka Kepala Desa harus melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya hasil evaluasi.

Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Kepala Desa dan Kepala Desa tetap menetapkan Rancangan Peraturan Kepala Desa tentang APBDesa menjadi Peraturan Desa, Bupati/Walikota membatalkan Peraturan Desa dengan Keputusan Bupati/Walikota. Dengan dilakukannya pembatalan Peraturan Desa tersebut sekaligus menyatakan berlakunya pagu APBDesa tahun anggaran sebelumnya. Dalam hal terjadi pembatalan, Kepala Desa hanya dapat melakukan pengeluaran terhadap operasional penyelenggaraan Pemerintah Desa. Kepala Desa memberhentikan pelaksanaan Peraturan Desa paling lama 7 (tujuh) hari kerja setelah pembatalan dan selanjutnya bersama BPD mencabut peraturan desa dimaksud.

Dalam hal Bupati/Walikota mendelegasikan evaluasi Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa kepada Camat atau sebutan lain, maka langkah yang dilakukan adalah : 1). Camat menetapkan hasil evaluasi Rancangan APBDesa paling lama 20 (dua puluh) hari kerja sejak diterimanya Rancangan Peraturan Desa tentang APBDesa.  Dalam hal Camat tidak memberikan hasil evaluasi dalam batas waktu yang ditetapkan, Peraturan Desa tersebut berlaku dengan sendirinya. Dalam hal ada koreksi yang disampaikan atau penyesuaian yang harus dilakukan dari hasil evaluasi tersebut, Kepala Desa melakukan penyempurnaan paling lama 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak diterimanya hasil evaluasi. Apabila hasil evaluasi tidak ditindaklanjuti oleh Kepala Desa dan Kepala Desa tetap menetapkan Rancangan Peraturan Kepala Desa tentang APBDesa menjadi Peraturan Desa, Camat menyampaikan usulan pembatalan Peraturan Desa kepada Bupati/Walikota.

Bendahara desa mungkin dibantu oleh akuntan masuk desa wajib Melakukan pencatatan setiap penerimaan dan pengeluaran serta melakukan tutup buku setiap akhir bulan secara tertib. Penatausahaan penerimaan dan pengeluaran dilakukan menggunakan Buku Kas Umum, Buku Kas Pembantu Pajak, dan Buku Bank. Mempertanggungjawabkan uang melalui laporan pertanggungjawaban
Kepala desa menyampaikan laporan realisasi pelaksanaan APBDesa kepada Bupati/Walikota yang meliputi : a. Laporan semester pertama, berupa Laporan Realisasi Pelaksanaan APBDesa.Semester Pertama. b. Laporan semester akhir tahun, berupa Laporan Realisasi Pelaksanaan APBDesa Semester Akhir.

Kepala desa menyampaikan kepada Bupati /Walikota setiap akhir tahun anggaran laporan yang meliputi : a. Laporan Pertanggungjawaban Realisasi Pelaksanaan APBDesa Tahun Anggaran berkenaan. 1) Merupakan bagian tidak terpisahkan dari laporan penyelenggaraan Pemerintahan Desa. 2) Diinformasikan kepada masyarakat secara tertulis dan dengan media informasi yang mudah diakses oleh masyarakat. 3) Disampaikan kepada Bupati/Walikota melalui camat atau sebutan lain. b. Laporan Kekayaan Milik Desa per 31 Desember Tahun Anggaran berkenaan c. Laporan Program Pemerintah dan Pemerintah Daerah yang masuk ke desa.

Pemerintah Provinsi wajib membina dan mengawasi pemberian dan penyaluran Dana Desa, Alokasi Dana Desa, dan Bagi Hasil Pajak dan Retribusi Daerah dari Kabupaten/Kota kepada Desa. b. Pemerintah Kabupaten/Kota wajib membina dan mengawasi pelaksanaan pengelolaan keuangan desa.

Keuangan Desa adalah semua hak dan kewajiban Desa yang dapat dinilai dengan uang serta segala sesuatu berupa uang dan barang yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban Desa. Pengelolaan Keuangan Desa adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan, pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, dan pertanggungjawaban keuangan desa. Proses Pelaporan dimulai dari membuat Laporan semester pertama, Laporan semester akhir tahun , laporan realisasi APBDesa dan diakhiri dengan penyampaian laporan-laporan tersebut kepada Bupati/Walikota melalui Camat.

Peran akuntan masuk desa akan sangat dominan dalam mengawal pengelolaan keuangan desa, sehingga BPKP dan IAI sangat antusias memberikan sosialisasi akuntansi pengelolaan keuangan desa ke berbagai perguruan tinggi yang menghasilkan sarjana akuntansi. Diharapkan alumni akuntansi atau mahasiswa akuntansi yang baru selesaikan studinya dapat kembali ke daerahnya untuk membantu keuangan di desa. Semoga.!

*)  Penulis adalah
Bagian Akuntansi, Audit dan Pelaporan
/Penata Laporan Keuangan
PDAM Tirta Krueng Meureudu
Pidie Jaya - Aceh - Indonesia 24186


Thursday, January 12, 2017

Diaspora Para Uleebalang Aceh


Oleh Teuku Rahmad Danil Cotseurani

            Melihat Fakta sejarah, banyak ahli ilmu sejarah dan sosial setuju bahwa Aceh punya karakter tersendiri yang membedakan daerah ini dengan daerah lainnya di Indonesia maupun dunia. Di antaranya, barangkali bisa dilihat dari peran uleebalang tempo dulu dalam membentuk tatanan pemerintahan dan sosial kesultanan Aceh tidak bisa diabaikan. Para uleebalang dipercayai sebagai bagian dari suara yang mewakili rakyat sipil dan militer Aceh ketika itu. Para uleebalang pun memiliki posisi stategis dan wilayah “kekuasaan” dan Onderafdeling  atau Kewedanan, Landschap masing-masing.
            Uleebalang (Melayu: Hulubalang ) adalah golongan bangsawan dalam masyarakat Aceh yang memimpin sebuah kenegerian atau Nanggroe, yaitu wilayah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang. Ulee balang digelari dengan gelar Teuku untuk laki-laki atau Cut untuk perempuan.
            Uleebalang, ditetapkan oleh adat secara turun-temurun. Mereka menerima kekuasaan langsung dari Sultan Aceh. Uleebalang ini merupakan penguasa nanggroe atau raja-raja kecil yang sangat berkuasa di daerah mereka masing-masing. Sewaktu mereka memangku jabatan sebagai Uleebalang di daerahnya, mereka harus disahkan pengangkatannya oleh Sultan Aceh. Surat Pengangkatan ini dinamakan Sarakata yang dibubuhi stempel Kerajaan Aceh Cap Sikureung.
            Sejarah juga mencatat hingga tahun 1940 di Aceh ketika itu terdiri dari Landschap Sigli terdiri dari  Pidie (XII Mukim), Aree (II Mukim), Iboih, Aron (III Mukim), Ie Leubeue (VI Mukim), Ndjong, Glumpang Payong (III Mukim), Sama Indra, Bambi dan Oenoe (III Mukim), Kroeen, Seumideuen, Pineung (III Mukim), Gighen (Gigieng). Landschap Lam meulo terdiri dari Cumbok (V Mukim), Titeu (II Mukim), Troeseb (II Mukim), Keumala (II Mukim), Me Tareuem, Andeue dan Lala, Ilot, Tangse, Geumpang.  
Landschap Padang Tiji terdiri dari  Kale (V Mukim), Laweueng dan Reubee (V Mukim),  landschap Meureudu terdiri dari Meureudu, Trieng Gading dan Pante Raja. Landschap Lhokseumawe terdiri dari Lhokseumawe, Sawang,Nisam, Cunda, Blang Me, Bayue, Blang Mangat, Sama Kuro, Bloe,  Geudong . Landschap Lhoksukon terdiri dari  Kroeng Pase, Keureuto (dan daerah takluknya), Matang Koeli, Peuto.
Landschap Idi terdiri dari Idi Rayeu, Idi Cut, Tanjong Seumanto dan Meureubo, Simpang Olim (Simpang Ulim),Bugeng dan Bagok, Peudawa Rayeu, Julok Cut, Julok Rayeuk. Lanschap Langsa terdiri dari  Peureulak, Langsa, Soengoe Raya. Landschap Tamiang terdiri dari Kejurun Karang, Raja Bendahara, Sungai Ijoe, Kejurun Muda, Sutan Muda. Lanschap Calang terdiri dari Kluang, Kuala Daya, Lambeusoe (dan daerah takluknya, yang meliputi Lam Me dan Lam No), Unga (dan daerah takluknya, yang meliputi Pante Caureumen), Lhok Kroeet, Patek, Lageuen (termasuk Lhok Gloempang dan Raneue), Rigaih, Kroeng Sabe,Teunom.
Landschap Meulaboh terdiri dari Woyla, Boebon, Lhok Boebon, Kaway XVI (Meulaboh), Seunagan, Seuneuam, Beutong, Tungkop, Pameue. Landschap Tapak Tuan terdiri dari Kuala Batee, Susoh, Blang Pidie (Blang Pedir),  Manggeng, Lhokpawoh Utara, Labuan Haji (Labohan Adji), Meukek, Sama Dua, Lhok pawoh Selatan, Tapa Tuan (Tapak Tuan), Kluet. Landschap Singkil dan Trumon.
Landschap Takengon terdiri dari Rojo Cek Bobasan, Kejuron Buket (Bukit), Kejuron Siah Utama,Kejuron Linggo, Landschap Kejuron Serbojadi Abok atau Abok (Abu). Landschap Gayo Lueus dan Kejuron Petiambang. Landschap Alas terdiri dari Kejuron Bambel, Kejuron Pulo Nas (Batu Mbulen). Landschap Simalur terdiri dari Tapah (Teupah), Simalur (Simuelue), Salang, Lekom, Siguele (Sikhuele). Kesemua landschap itu  yang dipimpin oleh Teuku-Teuku.
Terlepas dari peristiwa berdarah perang Cumbok yang terjadi perang saudara sesama orang Aceh, antara Teuku dan Teungku. Kini, sudah peristiwa itu merupakan lembaran hitam sejarah dan sepakat dilupakan dan dikubur seiiring dengan perjalanan waktu dan tidak mendendam hingga ke anak cucu.
            Karakter serta kekhassan Aceh itu sendiri diantara suku dan orang Aceh lainnya adalah gelar Teuku dan Cut yang disandang didepan nama sebagian besar keturunan orang Aceh yang seolah-olah menasbihkan bahwa kita adalah sudah pasti orang Aceh. Bila di Sumatera Utara dan Maluku serta beberapa daerah lain di Indonesia mereka punya marga dan biasanya marga tersbut disandang di belakang nama, lain halnya dengan Aceh gelar itu ada didepan nama seseorang.
            Setelah sekian tahun pasca perang bersaudara,dalam hal ini perang Cumbok bukan perang dengan Belanda, Jepang, Sekutu maupun dengan Republik Indonesia di Aceh, keturunan uleebalang dalam hal ini mereka yang bergelar Teuku dan Cut banyak yang terpisah, berdiaspora, menyebar ke seluruh Indonesia dan dunia dengan menempati posisi strategis baik di pemerintahan, perusahaan maupun swasta dan bahkan menikah dengan orang yang bukan dari garis keturunan biasanya yang perempuan mereka yang bergelar Cut menikah dengan orang yang tidak bergelar teuku dengan otomatis anak keturunan mereka tidak berhak menyandang gelar Teuku dan Cut. Beda halnya jika laki-laki yang bergelar Teuku menikah dengan perempuan yang bukan Cut masih berhak untuk anak keturunan mereka disematkan Teuku dan Cut didepan nama. Hal ini karena kita di Aceh dan ummat Islam menganut sistim Patrilineal (garis keturunan dari ayah/laki-laki).
            Sebab karena terpisah dan pecah puluhan tahun adalah inisiasi Teuku Mufizar Abdullah untuk menyatukan kembali para keturunan serta keluarga ulee balang dalam suatu wadah perkumpulan, organisasi sosial dan paguyuban maka dibentuklah Wareeh KUB (Wareeh Keluarga Ulee Balang) Aceh pada tanggal 11 Desember 2015 di Banda Aceh. Wadah ini untuk bersilaturahmi dan saling kenal mengenal kembali sesama para wareeh yang sudah terpisah dan berdiaspora dengan media sosial utama adalah whatsapp (WA) sebagai jejaring sosial di internet.
            Dalam Usia yang berumur satu tahun perkumpulan/organisasi sosial Wareh KUB Aceh terus berupaya mencari dan menelusuri jejak persaudaraan sesama wareeh keluarga ulee balang, melalui media sosial, telepon, kopi darat atau pertemuan langsung sambil minum kopi bersama dan puncaknya adalah pada acara Halal Bi Halal yang digelar sesudah hari raya Idul Fitri 1437 Hijriah, tepatnya tanggal 23 Juli 2016 di gedung Prof. Ali Hasymi, Darussalam, Banda Aceh. Dengan tema Mejaut Persaudaran dan Memperkuat Solidaritas Wareeh KUB Aceh. Dan juga turut dihadiri oleh sesepuh Sultanah Cut Putroe Cahya Nur Alam Ben Tuanku Raja Ibrahim Yusuf Ben Sultan Alaiddin Daud Syah Zilullahi Fil Alam. Sebagai pewaris langsung kesultanan Aceh.
            Diusianya yang baru seumur jangung, Wareeh KUB Aceh sudah membentuk struktur pengurus dan susunan organisasi dewan pimpinan pusat Wareeh KUB Aceh masa bakti 2016 – 2021 yang diisi oleh nama-nama yang sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Aceh untuk mengisi pos-pos di dewan pelindung, penasehat, pembina, pengurus seperti  Teuku Samsul Bahri bin Teuku Nyak Arief, Teuku Zainoel Arifin bin Teuku Panglima Polem, Cut Cahyarani Bitai, Teuku Iwan Djohan dan lain-lain. Uniknya dari ketiga nama calon wakil gubernur 2017-2022 diantaranya Teuku A Khalid, Teuku Machsalmina Ali dan T. Alaidinsyah semuanya masuk dalam struktur organisasi Wareeh KUB Aceh, walaupun berbeda warna partai dan politik namun tetap bersatu dalam ukhwah dan persaudaraan sesama keluarga besar Wareeh KUB Aceh. Walaupun sudah menyebar diseluruh Indonesia dan kancah Internasional.

            Bila kita merunut fakta sejarah para Uleebalang tidak bisa lepas dengan sistim pemerintahan era masa kerajaan dan sering pergeseran sistim perpolitikan di Indonesia pada umumnya yang beralih ke era demokrasi, peran serta para Uleebalang sedikit tergurus ileh zaman dimana power society bukan hanya dari kalangan para Uleebalang tapi sudah umum pada masyarakat pada umumya karena keilmuan, ketokohan dan kesetaraan gender. Secara politik, komunitas atau paguyuban memang tidak bisa menggerakkan agenda-agenda demokrasi namun sedikit banyaknya menjadi warna tersendiri di negara kesatuan Republik Indonesia. Semangat keberagaman dalam memupuk perbedaan dan kebhinekaan kita harus tetap dikedepankan di alam yang sedang menuju jalan berliku konsolidasi demokrasi yang sejati. Untuk menata kembali demokrasi sejak awal sehingga cita-cita pembangunan dan nasionalisme tidak pecah berantakan dan hancur berleping atas nama perpecahan. Perbedaan adalah anugerah dari yang maha kuasa. Nah!