Thursday, January 12, 2017

Diaspora Para Uleebalang Aceh


Oleh Teuku Rahmad Danil Cotseurani

            Melihat Fakta sejarah, banyak ahli ilmu sejarah dan sosial setuju bahwa Aceh punya karakter tersendiri yang membedakan daerah ini dengan daerah lainnya di Indonesia maupun dunia. Di antaranya, barangkali bisa dilihat dari peran uleebalang tempo dulu dalam membentuk tatanan pemerintahan dan sosial kesultanan Aceh tidak bisa diabaikan. Para uleebalang dipercayai sebagai bagian dari suara yang mewakili rakyat sipil dan militer Aceh ketika itu. Para uleebalang pun memiliki posisi stategis dan wilayah “kekuasaan” dan Onderafdeling  atau Kewedanan, Landschap masing-masing.
            Uleebalang (Melayu: Hulubalang ) adalah golongan bangsawan dalam masyarakat Aceh yang memimpin sebuah kenegerian atau Nanggroe, yaitu wilayah setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang. Ulee balang digelari dengan gelar Teuku untuk laki-laki atau Cut untuk perempuan.
            Uleebalang, ditetapkan oleh adat secara turun-temurun. Mereka menerima kekuasaan langsung dari Sultan Aceh. Uleebalang ini merupakan penguasa nanggroe atau raja-raja kecil yang sangat berkuasa di daerah mereka masing-masing. Sewaktu mereka memangku jabatan sebagai Uleebalang di daerahnya, mereka harus disahkan pengangkatannya oleh Sultan Aceh. Surat Pengangkatan ini dinamakan Sarakata yang dibubuhi stempel Kerajaan Aceh Cap Sikureung.
            Sejarah juga mencatat hingga tahun 1940 di Aceh ketika itu terdiri dari Landschap Sigli terdiri dari  Pidie (XII Mukim), Aree (II Mukim), Iboih, Aron (III Mukim), Ie Leubeue (VI Mukim), Ndjong, Glumpang Payong (III Mukim), Sama Indra, Bambi dan Oenoe (III Mukim), Kroeen, Seumideuen, Pineung (III Mukim), Gighen (Gigieng). Landschap Lam meulo terdiri dari Cumbok (V Mukim), Titeu (II Mukim), Troeseb (II Mukim), Keumala (II Mukim), Me Tareuem, Andeue dan Lala, Ilot, Tangse, Geumpang.  
Landschap Padang Tiji terdiri dari  Kale (V Mukim), Laweueng dan Reubee (V Mukim),  landschap Meureudu terdiri dari Meureudu, Trieng Gading dan Pante Raja. Landschap Lhokseumawe terdiri dari Lhokseumawe, Sawang,Nisam, Cunda, Blang Me, Bayue, Blang Mangat, Sama Kuro, Bloe,  Geudong . Landschap Lhoksukon terdiri dari  Kroeng Pase, Keureuto (dan daerah takluknya), Matang Koeli, Peuto.
Landschap Idi terdiri dari Idi Rayeu, Idi Cut, Tanjong Seumanto dan Meureubo, Simpang Olim (Simpang Ulim),Bugeng dan Bagok, Peudawa Rayeu, Julok Cut, Julok Rayeuk. Lanschap Langsa terdiri dari  Peureulak, Langsa, Soengoe Raya. Landschap Tamiang terdiri dari Kejurun Karang, Raja Bendahara, Sungai Ijoe, Kejurun Muda, Sutan Muda. Lanschap Calang terdiri dari Kluang, Kuala Daya, Lambeusoe (dan daerah takluknya, yang meliputi Lam Me dan Lam No), Unga (dan daerah takluknya, yang meliputi Pante Caureumen), Lhok Kroeet, Patek, Lageuen (termasuk Lhok Gloempang dan Raneue), Rigaih, Kroeng Sabe,Teunom.
Landschap Meulaboh terdiri dari Woyla, Boebon, Lhok Boebon, Kaway XVI (Meulaboh), Seunagan, Seuneuam, Beutong, Tungkop, Pameue. Landschap Tapak Tuan terdiri dari Kuala Batee, Susoh, Blang Pidie (Blang Pedir),  Manggeng, Lhokpawoh Utara, Labuan Haji (Labohan Adji), Meukek, Sama Dua, Lhok pawoh Selatan, Tapa Tuan (Tapak Tuan), Kluet. Landschap Singkil dan Trumon.
Landschap Takengon terdiri dari Rojo Cek Bobasan, Kejuron Buket (Bukit), Kejuron Siah Utama,Kejuron Linggo, Landschap Kejuron Serbojadi Abok atau Abok (Abu). Landschap Gayo Lueus dan Kejuron Petiambang. Landschap Alas terdiri dari Kejuron Bambel, Kejuron Pulo Nas (Batu Mbulen). Landschap Simalur terdiri dari Tapah (Teupah), Simalur (Simuelue), Salang, Lekom, Siguele (Sikhuele). Kesemua landschap itu  yang dipimpin oleh Teuku-Teuku.
Terlepas dari peristiwa berdarah perang Cumbok yang terjadi perang saudara sesama orang Aceh, antara Teuku dan Teungku. Kini, sudah peristiwa itu merupakan lembaran hitam sejarah dan sepakat dilupakan dan dikubur seiiring dengan perjalanan waktu dan tidak mendendam hingga ke anak cucu.
            Karakter serta kekhassan Aceh itu sendiri diantara suku dan orang Aceh lainnya adalah gelar Teuku dan Cut yang disandang didepan nama sebagian besar keturunan orang Aceh yang seolah-olah menasbihkan bahwa kita adalah sudah pasti orang Aceh. Bila di Sumatera Utara dan Maluku serta beberapa daerah lain di Indonesia mereka punya marga dan biasanya marga tersbut disandang di belakang nama, lain halnya dengan Aceh gelar itu ada didepan nama seseorang.
            Setelah sekian tahun pasca perang bersaudara,dalam hal ini perang Cumbok bukan perang dengan Belanda, Jepang, Sekutu maupun dengan Republik Indonesia di Aceh, keturunan uleebalang dalam hal ini mereka yang bergelar Teuku dan Cut banyak yang terpisah, berdiaspora, menyebar ke seluruh Indonesia dan dunia dengan menempati posisi strategis baik di pemerintahan, perusahaan maupun swasta dan bahkan menikah dengan orang yang bukan dari garis keturunan biasanya yang perempuan mereka yang bergelar Cut menikah dengan orang yang tidak bergelar teuku dengan otomatis anak keturunan mereka tidak berhak menyandang gelar Teuku dan Cut. Beda halnya jika laki-laki yang bergelar Teuku menikah dengan perempuan yang bukan Cut masih berhak untuk anak keturunan mereka disematkan Teuku dan Cut didepan nama. Hal ini karena kita di Aceh dan ummat Islam menganut sistim Patrilineal (garis keturunan dari ayah/laki-laki).
            Sebab karena terpisah dan pecah puluhan tahun adalah inisiasi Teuku Mufizar Abdullah untuk menyatukan kembali para keturunan serta keluarga ulee balang dalam suatu wadah perkumpulan, organisasi sosial dan paguyuban maka dibentuklah Wareeh KUB (Wareeh Keluarga Ulee Balang) Aceh pada tanggal 11 Desember 2015 di Banda Aceh. Wadah ini untuk bersilaturahmi dan saling kenal mengenal kembali sesama para wareeh yang sudah terpisah dan berdiaspora dengan media sosial utama adalah whatsapp (WA) sebagai jejaring sosial di internet.
            Dalam Usia yang berumur satu tahun perkumpulan/organisasi sosial Wareh KUB Aceh terus berupaya mencari dan menelusuri jejak persaudaraan sesama wareeh keluarga ulee balang, melalui media sosial, telepon, kopi darat atau pertemuan langsung sambil minum kopi bersama dan puncaknya adalah pada acara Halal Bi Halal yang digelar sesudah hari raya Idul Fitri 1437 Hijriah, tepatnya tanggal 23 Juli 2016 di gedung Prof. Ali Hasymi, Darussalam, Banda Aceh. Dengan tema Mejaut Persaudaran dan Memperkuat Solidaritas Wareeh KUB Aceh. Dan juga turut dihadiri oleh sesepuh Sultanah Cut Putroe Cahya Nur Alam Ben Tuanku Raja Ibrahim Yusuf Ben Sultan Alaiddin Daud Syah Zilullahi Fil Alam. Sebagai pewaris langsung kesultanan Aceh.
            Diusianya yang baru seumur jangung, Wareeh KUB Aceh sudah membentuk struktur pengurus dan susunan organisasi dewan pimpinan pusat Wareeh KUB Aceh masa bakti 2016 – 2021 yang diisi oleh nama-nama yang sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Aceh untuk mengisi pos-pos di dewan pelindung, penasehat, pembina, pengurus seperti  Teuku Samsul Bahri bin Teuku Nyak Arief, Teuku Zainoel Arifin bin Teuku Panglima Polem, Cut Cahyarani Bitai, Teuku Iwan Djohan dan lain-lain. Uniknya dari ketiga nama calon wakil gubernur 2017-2022 diantaranya Teuku A Khalid, Teuku Machsalmina Ali dan T. Alaidinsyah semuanya masuk dalam struktur organisasi Wareeh KUB Aceh, walaupun berbeda warna partai dan politik namun tetap bersatu dalam ukhwah dan persaudaraan sesama keluarga besar Wareeh KUB Aceh. Walaupun sudah menyebar diseluruh Indonesia dan kancah Internasional.

            Bila kita merunut fakta sejarah para Uleebalang tidak bisa lepas dengan sistim pemerintahan era masa kerajaan dan sering pergeseran sistim perpolitikan di Indonesia pada umumnya yang beralih ke era demokrasi, peran serta para Uleebalang sedikit tergurus ileh zaman dimana power society bukan hanya dari kalangan para Uleebalang tapi sudah umum pada masyarakat pada umumya karena keilmuan, ketokohan dan kesetaraan gender. Secara politik, komunitas atau paguyuban memang tidak bisa menggerakkan agenda-agenda demokrasi namun sedikit banyaknya menjadi warna tersendiri di negara kesatuan Republik Indonesia. Semangat keberagaman dalam memupuk perbedaan dan kebhinekaan kita harus tetap dikedepankan di alam yang sedang menuju jalan berliku konsolidasi demokrasi yang sejati. Untuk menata kembali demokrasi sejak awal sehingga cita-cita pembangunan dan nasionalisme tidak pecah berantakan dan hancur berleping atas nama perpecahan. Perbedaan adalah anugerah dari yang maha kuasa. Nah!