Pemilihan Gubernur dan Wakil
Gubernur Aceh dan Bupati, Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di
Aceh (Pilkada Aceh) memang masih sekitar
satu tahun lagi, namun gaungnya telah berkumandang dalam kurun waktu kisaran 6
bulan terakhir ini, yang pasti tahun 2016 ini ada pemanasan suhu politik
menjelang Pilkada Aceh pada 2017.Yang membuat suhu politik itu lebih dinamis
karena tahapan-tahapan Pilkada 2017 itu sebagiannya sudah ada yang dilaksanakan
pada tahun 2016. Dan, yang juga bikin demam politik tambah tinggi, lantaran
pilkada itu dilaksanakan secara serentak, yakni pemilihan gubernur dan wakil
gubernur ditambah dengan pilkada di kabupaten/kota di Aceh.
Provinsi Aceh dinobatkan sebagai
daerah yang paling banyak mengikutsertakan kabupaten/kotanya di pemilihan
kepala daerah (Pilkada) serentak 2017. Dari 18 kabupaten dan lima kota,
Provinsi Aceh menempatkan 16 kabupaten dan empat kota plus 1 Gubernur dan Wakil
Gubernur di Pilkada serentak 2017. “Provinsi yang paling banyak adalah Aceh,
memilih satu gubernur dengan 20 bupati/wali kota di daerahnya. Mereka akan jadi
provinsi terbesar penyelenggaraan pilkada,” ujar Ketua KPU Husni Kamil Manik
(Almarhum) saat menggelar konfrensi pers penetapan hari dan tanggal pelaksanaan
pilkada di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (15/2/2016). KPU sendiri telah
menetapkan Pilkada serentak tahap dua yang akan digelar pada Rabu 15 Februari
2017. Ada 101 daerah yang akan ikut serta, terdiri dari tujuh provinsi,termasuk
Aceh, 18 kota serta 76 kabupaten. menyelenggarakan pilkada serentak. Sementara
tiga kabupaten/kota lainnya, seperti Aceh Selatan, Subulussalam, dan Pidie Jaya
dipastikan akan menggelar pilkada pada 2018. Skema pilkada serentak yang
disusun pemerintah dan DPR dibagi dalam tiga tahap, yakni Februari 2016, 2017,
dan 2018. Sedangkan kita di Aceh akan masuk pada gelombang kedua tahun 2017.
Semoga saja rakyat Aceh cerdas
menyikapinya dan tidak terjadi perpecahan didalam masyarakat dalam mendukung
suatu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur nantinya,pesta pilkada hanya
sebentar meriah dan heboh pada saat-saat kampanye dan tebar pesona sang
calon-calon pemimpin Aceh masa depan selepas itu kehidupan rakyat akan seperti
sedia kala, yang bekerja tetap bekerja, yang pedagang tetap berdagang,
tidak ada yang lebih dan perubahan dalam hal kehidupan ini, walaupun
janji-janji muluk pasangan cagub dan cawagub juga cabup dan cawabup saat kampanye
dalam rangka mengambil hati rakyat.
Selain itu, selama kampanye pilkada
dan pembicaraan koalisi partai, para calon gubernur dan wakil gubernur tidak
ada yang secara vulgar mengkritik dan berupaya mengganti kapitalisme serta
melawan hegemoni asing. Memang, ada statemen dari para calon gubernur dan wakil
gubernur yang akan mengatakan akan menjadikan Aceh sebagai daerah yang berdiri
dengan kaki sendiri, bermartabat dan tidak tunduk pada kekuasaan pusat atau asing.
Namun, itu lebih bersifat kalimat untuk ‘konsumsi kampanye’ saja. Realitasnya
jauh panggang dari api. Bagaimana manuver pengusaha hitam baik dari swasta di
Aceh, Indonesia dan asing selama ini telah menjadi bukti otentik yang tidak
terbantahkan. Sudah cukup bukti, pemimpin yang menghambakan diri pada
kepentingan pengusaha hitam dan asing dan terjerat korupsi.
Jadi, bisa disimpulkan bahwa ke
depan Indonesia, daerah-daerah lain maupun Aceh pada khususnya pasti menjadi
negara korporasi. Negara ini tak ubahnya seperti perusahaan yang hanya
memikirkan keuntungan. Dalam negara korporasi, subsidi terhadap rakyat, yang
sebenarnya merupakan hak rakyat, dianggap pemborosan. Aset-aset negara yang
sejatinya milik rakyat pun dijual. Itulah negara korporasi, yang tidak bisa
dilepaskan dari sistem politiknya: demokrasi. Di Indonesia, Pilkada serentak
tahap satu dan dua bakal menjadi pintu utamanya.
Oleh karena itu, bila para politikus pengusaha yang sekarang ini berada di pucuk pimpinan sejumlah parpol nantinya benar-benar naik ke tampuk kekuasaan, maka perwujudan Indonesia sebagai negara korporasi akan semakin nyata. Lihat saja nanti, keputusan-keputusan politik dibuat tidaklah sungguh-sungguh demi kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan bisnis. Kader partai yang duduk di parlemen pun kelak hanya akan menjadi alat legitimasi bagi pemuasan syahwat politik-ekonomi elit partai. Bila sebelum ini telah lahir sejumlah UU yang sangat liberal-kapitalistik, maka ke depan UU semacam itu akan lebih banyak lagi bermunculan. Ujungnya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya berupa pemiskinan dan kesenjangan kaya-miskin yang makin lebar.
Oleh karena itu, bila para politikus pengusaha yang sekarang ini berada di pucuk pimpinan sejumlah parpol nantinya benar-benar naik ke tampuk kekuasaan, maka perwujudan Indonesia sebagai negara korporasi akan semakin nyata. Lihat saja nanti, keputusan-keputusan politik dibuat tidaklah sungguh-sungguh demi kepentingan rakyat, tetapi untuk kepentingan bisnis. Kader partai yang duduk di parlemen pun kelak hanya akan menjadi alat legitimasi bagi pemuasan syahwat politik-ekonomi elit partai. Bila sebelum ini telah lahir sejumlah UU yang sangat liberal-kapitalistik, maka ke depan UU semacam itu akan lebih banyak lagi bermunculan. Ujungnya, rakyatlah yang akan menanggung akibatnya berupa pemiskinan dan kesenjangan kaya-miskin yang makin lebar.
Sejak merdeka, negeri ini
menerapkan sistem politik demokrasi dan ekonomi kapitalisme. Beragam corak dari
keduanya sudah dicoba. Meski begitu, negeri ini justru terasa makin jauh dari
cita-cita. Demokrasi dipercaya sebagai
sistem politik yang akan menampung seluas-luasnya aspirasi rakyat. Pemimpin
pilihan rakyat diyakini akan bekerja demi kepentingan rakyat. Demikian pula
sistem ekonomi kapitalisme dipercaya akan membawa kemakmuran dan kesejahteraan
bagi rakyat. Nyatanya, bukan aspirasi rakyat yang mengemuka. Dari para wakil
rakyat di Parlemen justru lahir banyak undang-undang yang merugikan rakyat.
Banyak pula kebijakan Pemerintah pilihan rakyat yang tidak berpihak kepada rakyat.
Melalui konsep dasar demokrasi, yakni kedaulatan rakyat, negeri ini mempraktikkan kesyirikan yang dilakukan Bani Israel (QS at-Taubah [9]: 31). Sebagaimana diketahui, para pemuka agama Bani Israel itu biasa menghalalkan apa saja yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa saja yang telah Allah halalkan. Semua itu kemudian diikuti dan ditaati oleh umat mereka. Demikian seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam riwayat Imam at-Tirmidzi. Itu sama persis dengan praktik kedaulatan rakyat dalam demokrasi.
Atas nama demokrasi, kaum Muslim dipaksa bermaksiat dengan menyalahi hukum-hukum Allah SWT; mereka diwajibkan terikat dengan hukum-hukum buatan manusia. Atas nama demokrasi, riba dan transaksi ribawi harus diambil dan dijalankan. Atas nama demokrasi dan kebebasannya, zina dianggap lumrah dan bukan kesalahan.
Melalui konsep dasar demokrasi, yakni kedaulatan rakyat, negeri ini mempraktikkan kesyirikan yang dilakukan Bani Israel (QS at-Taubah [9]: 31). Sebagaimana diketahui, para pemuka agama Bani Israel itu biasa menghalalkan apa saja yang telah Allah haramkan dan mengharamkan apa saja yang telah Allah halalkan. Semua itu kemudian diikuti dan ditaati oleh umat mereka. Demikian seperti yang dijelaskan oleh Rasulullah saw. dalam riwayat Imam at-Tirmidzi. Itu sama persis dengan praktik kedaulatan rakyat dalam demokrasi.
Atas nama demokrasi, kaum Muslim dipaksa bermaksiat dengan menyalahi hukum-hukum Allah SWT; mereka diwajibkan terikat dengan hukum-hukum buatan manusia. Atas nama demokrasi, riba dan transaksi ribawi harus diambil dan dijalankan. Atas nama demokrasi dan kebebasannya, zina dianggap lumrah dan bukan kesalahan.
Tahun Politik
Sistem politik demokrasi yang mahal membuat
penguasa dan wakil rakyat tidak lagi bekerja sebagai pelayan umat dan
pemelihara urusan rakyat. Mereka malah mengabdi demi kepentingan elit pengusaha
dan para cukong pemilik modal. Mereka bahkan menjadi pelayan pihak asing.
Akibatnya, lahirlah negara korporasi; lahirlah persekongkolan penguasa dengan
pengusaha. Jadilah hubungan penguasa dengan rakyat layaknya hubungan penyedia
produk dan jasa dengan konsumen.
Rakyat
diposisikan sebagai konsumen yang harus membayar pelayanan dari negara dan
membeli apa saja yang disediakan negara. Melalui proses politik demokrasi pula
lahir peraturan yang menguntungkan para pemilik modal. Bahkan pihak asing, yang
notabene penghisap kekayaan negeri ini, lebih dihormati daripada rakyatnya
sendiri. Penerapan demokrasi di bidang politik dibarengi dengan penerapan
sistem kapitalisme di bidang ekonomi. Akibat penerapan kapitalisme itu, alih-alih
tercipta kesejahteraan bersama, yang ada justru kesenjangan kelompok kaya dan
miskin makin meningkat.
Dan di
tahun ini, tahun 2015, 2016 dan 2017 ini oleh sebagian kepala daerah, pejabat,
politisi dan pengamat dianggap sebagai ‘tahun politik’. Penyebutan ‘tahun
politik’ menyiratkan setidaknya dua hal. Pertama: Politik dalam sistem
demokrasi sekular lebih didominasi oleh rebutan kekuasaan di pentas Pemilu,
baik sekadar untuk menjadi wakil rakyat di pusat dan daerah ataupun menjadi kepala
daerah. Kedua: Karena dalam sistem demokrasi politik lebih kental bernuansa
rebutan kekuasaan, politik dalam arti yang sebenarnya—yakni bagaimana mengurus
urusan rakyat—justru terabaikan.
Pasalnya,
dalam tiga tahun berturut-turut ini dipastikan para wakil rakyat dan penguasa
akan berusaha mengembalikan modal politik yang amat besar—rata-rata miliaran,
puluhan bahkan ratusan miliar untuk sebagai cagub dan cawagub—terutama untuk
kampanye Pemilu. Karena gaji yang ‘tak seberapa’ tak akan bisa membuat balik
modal, mengkorupsi uang rakyat menjadi satu-satunya cara yang paling efektif
dan efisien. Berikutnya, dalam dua tahun terakhir masa jabatan, para wakil
rakyat dan penguasa itu telah mulai sibuk kembali mempersiapkan diri untuk
‘rebutan kekuasaan’ lagi atau mempertahankan kursi kekuasaannya. Lalu kapan
rakyat diurus, padahal mereka dipilih oleh rakyat justru untuk mengurus rakyat?
Entahlah.
Yang pasti, di alam demokrasi di negeri ini, rakyat faktanya tambah sengsara
dan menderita karena harga-harga makin mahal, daya beli makin menurun, biaya
kesehatan dan pendidikan makin tak terjangkau, lapangan kerja makin sempit.
Singkatnya, rakyat tetap miskin, tetap susah dan tetap tak pernah hidup
sejahtera. Yang sejahtera justru wakil-wakil mereka di DPD, DPR maupun kepala
daerah pemerintahan.
Fakta
Sejarah
Berdasarkan fakta sejarah, syariah
Islam di Aceh pada masa kesultanan melindungi kebhinekaan dan kemajemukan di
masyarakat. Sebab, Islam merupakan agama rahmatan lil alamin. Tak tercatat
dalam sejarah, di Aceh atau Indonesia pada umumnya, kekuasaan Islam pada masa
lampau menindas umat beragama lain. Sultan Aceh, Alauddin Ri’a-yat Syah
al-Qahhar pernah meminta bantuan militer kepada Turki, untuk mengusir Portugis
di Malaka dengan mengirim Husain Effendi ke Istambul (1565). Sebagaimana yang
tertuang dalam arsip Utsmani yang ditemukan oleh Farooqi, Sultan Aceh tersebut
mengakui penguasa Utsmani sebagai khalifah Islam. Di samping itu, surat tersebut
juga menceritakan tentang aktivitas militer Portugis yang mengganggu para
pedagang Muslim dan jamaah haji dalam perjalanan ke Makkah. Permohon tersebut
sangat wajar mengingat sampai awal abad ke-20 Kesultanan Usmaniyah Turki
dipandang oleh Dunia Islam sebagai Pelindung ataupun Pengayom bagi
negara-negara Islam di seluruh dunia.
Aceh sebagaimana dunia ini adalah
milik Allah SWT. Karena itu, dunia ini, termasuk negeri ini, hanya layak
dikelola dan diatur dengan menggunakan aturan Allah SWT. Itulah syariah Islam. Hanya
dengan syariah Allah SWT sajalah perubahan dan penyelamatan negeri ini bisa
diwujudkan secara hakiki. Allah SWT sudah mengingatkan kita tentang akibat dari
penerapan sistem yang bukan berasal dari wahyu-Nya:
Jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, maka siapa saja yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Siapa saja yuang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit (QS Thaha [20]: 124).
Jika datang kepada kalian petunjuk dari-Ku, maka siapa saja yang mengikut petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka. Siapa saja yuang berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya bagi dia penghidupan yang sempit (QS Thaha [20]: 124).
Dewasa ini di zaman kemerdekaan dan
reformasi rakyat Indonesia mengubah sistim syariah berdasarkan Islam pada masa
kerajaan-kerajaan dengan sistim demokrasi atau trial politica ciptaan Bangsa
Yahudi dan Nasrani yang masyarakat Indonesia adopsi. Bahkan secara hukum masih
memberlakukan hukum-hukum peninggalan Belanda dalam KHUP dan KHUAP. Padahal
jelas Alquran dan sunnah nabi sebagai pedoman dan pegangan ummat Islam dan di
Indonesia, ummat Islam adalah ummat terbesar dan terbanyak di negeri ini.
Banyaknya hukum agama yang
ditelantarkan, banyaknya kemaslahatan rakyat yang diabaikan, terjadinya
eksploitasi atas manusia, dan banyaknya persoalan yang tak kunjung selesai saat
ini, semua itu menunjukkan bahwa penerapan syariah dan Khilafah amat mendesak
di negeri ini, dan semua anugerah dan kekayaan alam kita adalah milik Allah
sudah seyogianya kita menerapkan suatu sistim yang diperintahkan oleh Allah SWT
bukan malah mengambil dan mengadopsi
sistim buatan manusia seperti demokrasi, liberalism, kapitalisme, komunisme dan
lain-lain.
Demokrasi yang digadang sebagai
sistem pemerintahan yang paling merakyat dengan selogan “dari rakyat, oleh
rakyat, dan untuk rakyat” nyatanya hanya membuat rakyat semakin melarat dan
papa. Kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin memihak “Sang tuan” para
pemilik modal menunjukkan demokrasi hanya akan menambah rentetan derita rakyat
yang tidak ada habisnya. Salah contoh keharusan menaikkan harga BBM secara
berkala dan terus menerus yang menjadi “request” Sang Tuan kepada penguasa
mendatang. Demokrasi-lah yang mengharuskan pemerintah indonesia menjadi
“Jongos” di negeri sendiri dengan siapapun pemimpinnya.
Semoga di Aceh, penerapan
syariah Islam, bisa menyelesaikan masalah secara menyeluruh dan
tujuan-tujuan penerapan syariah Islam bisa direalisasikan secara utuh.
Sebab jika Kegagalan akibat penerapan syariah secara parsial sangat mungkin
menjadi sasaran empuk musuh-musuh Islam. Semacam memberikan amunisi tanpa henti
bagi musuh-musuh umat untuk menunjuk jari pada ketidakmampuan Islam untuk
memecahkan berbagai masalah.
Untuk itu, kita perlu menjadikan Rasulullah SAW sebagai pedoman. Ketika Rasulullah SAW mendirikan negara Islam pertama di Madinah, bangsa-bangsa lain kemudian memeluk Islam karena mereka menyaksikan secara langsung pelaksanaan (hukum) Islam secara lengkap yang diberlakukan secara nyata. Hal ini kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah berikutnya. Dengan penerapan yang paripurna ini, Islam tampak sebagai solusi nyata bagi manusia, negara khilafah menjadi mercusuar peradaban dunia dengan segala kebaikannya. Nyan Ban!
Untuk itu, kita perlu menjadikan Rasulullah SAW sebagai pedoman. Ketika Rasulullah SAW mendirikan negara Islam pertama di Madinah, bangsa-bangsa lain kemudian memeluk Islam karena mereka menyaksikan secara langsung pelaksanaan (hukum) Islam secara lengkap yang diberlakukan secara nyata. Hal ini kemudian diikuti oleh khalifah-khalifah berikutnya. Dengan penerapan yang paripurna ini, Islam tampak sebagai solusi nyata bagi manusia, negara khilafah menjadi mercusuar peradaban dunia dengan segala kebaikannya. Nyan Ban!
*) Penulis adalah
Bagian Akuntansi, Audit dan Pelaporan
/Penata Laporan Keuangan
PDAM Tirta Krueng Meureudu
Pidie Jaya - Aceh - Indonesia 24186
No comments:
Post a Comment