Thursday, November 10, 2016

Demam Pilkada Aceh

            Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh dan Bupati, Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota di Aceh  (Pilkada Aceh) memang masih sekitar satu tahun lagi, namun gaungnya telah berkumandang dalam kurun waktu kisaran 6 bulan terakhir ini, yang pasti tahun 2016 ini ada pemanasan suhu politik menjelang Pilkada Aceh pada 2017.Yang membuat suhu politik itu lebih dinamis karena tahapan-tahapan Pilkada 2017 itu sebagiannya sudah ada yang dilaksanakan pada tahun 2016. Dan, yang juga bikin demam politik tambah tinggi, lantaran pilkada itu dilaksanakan secara serentak, yakni pemilihan gubernur dan wakil gubernur ditambah dengan pilkada di kabupaten/kota di Aceh.
Provinsi Aceh dinobatkan sebagai daerah yang paling banyak mengikutsertakan kabupaten/kotanya di pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak 2017. Dari 18 kabupaten dan lima kota, Provinsi Aceh menempatkan 16 kabupaten dan empat kota plus 1 Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilkada serentak 2017. “Provinsi yang paling banyak adalah Aceh, memilih satu gubernur dengan 20 bupati/wali kota di daerahnya. Mereka akan jadi provinsi terbesar penyelenggaraan pilkada,” ujar Ketua KPU Husni Kamil Manik (Almarhum) saat menggelar konfrensi pers penetapan hari dan tanggal pelaksanaan pilkada di Hotel Aryaduta, Jakarta, Senin (15/2/2016). KPU sendiri telah menetapkan Pilkada serentak tahap dua yang akan digelar pada Rabu 15 Februari 2017. Ada 101 daerah yang akan ikut serta, terdiri dari tujuh provinsi,termasuk Aceh, 18 kota serta 76 kabupaten. menyelenggarakan pilkada serentak. Sementara tiga kabupaten/kota lainnya, seperti Aceh Selatan, Subulussalam, dan Pidie Jaya dipastikan akan menggelar pilkada pada 2018. Skema pilkada serentak yang disusun pemerintah dan DPR dibagi dalam tiga tahap, yakni Februari 2016, 2017, dan 2018. Sedangkan kita di Aceh akan masuk pada gelombang kedua tahun 2017.
Dalam jangka waktu tersebut bisa kita amati adanya transformasi terhadap informasi-informasi seputar Pilkada Aceh di tahun 2017 dimana umumnya ditenggarai oleh pemberitaan-pemberitaan di ragam media, walaupun demikian informasi tersebut masih berkutat seputar siapa-siapa saja sosok individu yang akan maju mencalonkan dirinya di Pilkada mendatang. Tidak bisa dipungkiri kalau dikatakan Pilkada Aceh memiliki pamor lebih bahkan hampir setingkat Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta , hal ini tidak hanya dilatarbelakangi Aceh sebagai pelopor proses pemilihan dan kekhusususan dalam pola pemerintahan, terlebih lagi kehadiran partai politik lokal dan sebagai daerah pertama hadirnya dan dirumuskannya calon dari perseorangan atau independen.
            Tak mengherankan bilamana Aceh dijadikan barometer perpolitikan nasional, hal tersebut dikarenakan dalam suatu gelaran pemilihan pemimpin daerah maka selayaknya kekuatan masing-masing pasangan calon ditentukan oleh publik selaku pemilih. Jika prediksi demikian adanya terjadi maka saling adu kuat masing-masing antara pasangan calon yang dapat menimbulkan potensi keributan serupa dengan apa yang terjadi pada masa Pilkada Aceh 2012 lalu. Aroma-aroma persaingan jelas sudah tercium semerbak di setiap penjuru sudut Aceh dengan hadirnya para relawan-relawan, posko-posko pemenangan, tensi-tensi tinggi akan pandangan individu seperti saling berlomba adu pendapat. Benih-benih keberpihakan mulai ditebar sambil menunggunya berbunga (pihak-pihak panas dingin menanggapi) dan  semoga saja tidak berbuah kebencian diantara sesamq jelang pilkada dan pada saat kampaye nantinya. momentum ini untuk saling koreksi pribadi masing-masing dan sukseskan Pilkada Aceh 2017 secara damai dan sehat.
Dapat kita bayangkan bagaimana para kandidat kepala daerah akan “memasarkan diri” ke publik dengan berbagai cara. Dan, semua itu akan terjadi pada tahun 2016 sebagai upaya menyambut 2017 sebagai tahun pilkda Aceh dan 21 kabupaten/kota di Aceh. Sebab, bila proses formal pilkada sudah mulai ditangani Komisi Independen Pemilihan (KIP) di provinsi atau kabupaten/kota, proses “jual” diri kandidat akan sangat terbatas. Kandidat berduit atau tidak berduit akan mendapat kesempatan yang sama untuk berkampanye. Dengan begitu, maka pada tahun 2016 ini dan jelang tahun 2017 akan terlihat betapa dahsyatnya kegiatan kampanye kandidat yang dibungkus dengan berbagai kemasan. Ada seminar, bakti sosial, turnamen olahraga, acara kemahasiswaan, road show ke gampong-gampong oleh kandidat dan bermacam-macam kegiatan lainnya dalam upaya mencari dukungan dan pemilih
Adapun jelang Pilkada  Aceh 2017, Sejumlah nama bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh dan Bupati, Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota mulai bermunculan dan ramai diperbincangkan publik di berbagai tempat. Tak hanya di dunia nyata seperti di tempat keramaian, di dunia maya pun sama. Beberapa tokoh yang mencuat dan dinyatakan bakal bersaing merebut kursi Aceh 1 periode 2017-2022 adalah Irwandi Yusuf berpasangan dengan Nova Iriansyah, Muzakir Manaf berpasangan dengan TA. Khalid, Kemudian ada Tarmizi Karim Berpasangan dengan Zaini Djalil, mantan Menteri Pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Zakaria Saman berpasangan dengan T. Alaidinsyah. Belakangan Zaini Abdullah berpasangan dengan Nasaruddin, turut ambil bagian dalam pesta demokrasi pilkada kali ini adalah Abdullah Puteh yang berpasangan dengan Sayed Mustafa Usab.  Keempat tokoh semuanya mantan petinggi GAM, Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf,  kemudian Zakaria Saman dan Zaini Abdullah sama-sama menjabat sebagai Tuha Peut alias Dewan Pertimbangan Partai Aceh. Dan diikuti oleh puluhan dan ratusan nama calon baik dari dukungan partai atau koalisi partai dan calon dari perseorangan atau independen yang akan menyemarakkan bursa pencalonan pilkada di tingkat kabupaten dan kota di Aceh.
‘Demam’ Pilkada Aceh tidak hanya dirasakan oleh pendukung fanatik masing-masing kandidat, menjelang kampanye nanti, bahkan sudah dimulai dari sekarang kalangan percetakan kebanjiran order alat peraga kampanye, tim sukses, koordinator penggerak massa, pedagang dan warga yang di warung kopi pun ikut terlibat demam Pilkada Aceh dimana dipastikan hampir setiap hari akan ada diskusi-diskusi menarik mengenai pilkada Aceh, dan mobilitas massa dengan uang beredar banyak pada saat kampaye, tinggal pertanggung jawaban saja oleh Tim Sukses kepada KIP/KPU Aceh tentang Dana Kampanye dan Laporan pengguna Dana yang tidak melanggar ketentuan KIP/KPU Aceh.                
Netralitas Mahasisiwa
Mahasiswa, yang paling merasakan ‘demam’ Pilkada Aceh 2017, dalam hal ini termasuk salah satu kelompok masyarakat yang mempunyai peranan penting bagi kesejahteraan masyarakat, akan menjadi kelompok yang sangat disukai oleh para tokoh politik. Banyak tokoh yang nantinya bakal menjadikan mahasiswa sebagai tim yang mensukseskannya dalam pesta politik Aceh 2017. Bagi mahasiswa yang aktif dalam berbagai organisasi kampus, bermain politik adalah hal yang sudah lazim mereka lakukan. Hal ini dikarenakan etika-etika berpolitik dalam sebuah organisasi tidak jauh berbeda dengan etika politik umum atau politik kenegaraan. Padahal sejatinya dilarang berpolitik dikampus. Mengingat, selain telah diatur dalam undang-undang, pembatasan bagi mahaiswa untuk berkecimpung dalam dunia politik disebabkan untuk menjaga semua ke-sakralan serta nilai-nilai ilmu pengetahuan yang dikembangkan di kampus.
Maka dari itu, sikap netral dalam menyikapi isu pesta politik yang dimiliki oleh mahasiswa ketika berada di lingkungan kampus sangat dibutuhkan. Sekalipun ia telah terbiasa bergaul dengan tokoh politik, ataupun memang terlahir dari keluarga tokoh politik, sikap netral dan tidak memancing isu-isu politik di lingkungan kampus sangat membantu untuk mewujudkan visi-misi kampus dalam rangka mencetak kader akademisi yang santun dan menjaga nama baik sebuah lembaga. Dengan adanya sikap netral di kalangan mahasiswa, maka dapat dipastikan nama baik perguruan tinggi akan terjaga, begitu juga hubungan antar sesama mahasiswa dan pihak kampus lainnya akan selalu harmonis meskipun ada banyak warna politik dalam kehidupan pribadi mereka. Karena banyak dari tim sukses atau relawan salah satu kandidat yang bertarung dalam PIlkada Aceh 2017 adalah motor penggeraknya  dan lokomotifnya adalah mahasiswa atau mantan mahasiswa itu sudah urusan lain jika sudah eks mahasiswa.
Tahun Politik
Dan di tahun ini, tahun, 2016 dan 2017 ini oleh sebagian kepala daerah, pejabat, politisi dan pengamat dianggap sebagai ‘tahun politik’.  Penyebutan ‘tahun politik’ menyiratkan setidaknya dua hal. Pertama: Politik dalam sistem demokrasi sekular lebih didominasi oleh rebutan kekuasaan di pentas Pemilu, baik sekadar untuk menjadi wakil rakyat di pusat dan daerah ataupun menjadi kepala daerah. Kedua: Karena dalam sistem demokrasi politik lebih kental bernuansa rebutan kekuasaan, politik dalam arti yang sebenarnya—yakni bagaimana mengurus urusan rakyat—justru terabaikan.
Pasalnya, dalam dua tahun berturut-turut ini dipastikan para wakil rakyat dan penguasa akan berusaha mengembalikan modal politik yang amat besar, rata-rata miliaran (mahar politik), puluhan bahkan ratusan miliar untuk sebagai cagub dan cawagub, terutama untuk kampanye Pilkada. Karena gaji yang ‘tak seberapa’ tak akan bisa membuat balik modal, mengkorupsi uang rakyat menjadi satu-satunya cara yang paling efektif dan efisien. Berikutnya, dalam dua tahun terakhir masa jabatan, para wakil rakyat dan penguasa itu telah mulai sibuk kembali mempersiapkan diri untuk ‘rebutan kekuasaan’ lagi atau mempertahankan kursi kekuasaannya. Lalu kapan rakyat diurus, padahal mereka dipilih oleh rakyat justru untuk mengurus rakyat?
Pesta demokrasi 5 tahunan sekali, Pilkada Aceh 2017 bakal diwarnai persaingan ketat antara partai lokal, nasional dan jalur independen. Masih sulit diprediksi siapa pemenangnya. Para kandidat harus pintar mencari simpati dari masyarakat, dengan memainkan strategi politiknya tanpa menciderai perdamaian Aceh, mengingat masyarakat sekarang sudah makin dewasa dalam melihat calon pemimpinnya. Masyarakat Aceh tentu sangat antusias dan euphoria menyambut perhelatan akbar Pilkada Aceh 2017, ibarat menunggu gelaran piala dunia yang digulirkan 4 tahun sekali begitu juga Pilkada Aceh 2017 yang dinanti-nanti, semoga saja rakyat Aceh tidak ada yang tidak memilih atau golongan putih (golput) karena bisa jadi kita yang beranggapan tidak memilih karena tidak suka terhadap pasangan calon yang maju atau kandidat, tetapi suara kita bisa digunakan oleh oknum ditempat pemungutan suara walaupun ada tim pemantau, namun kecurangan tetap bisa dilakukan.
Euforia pemilihan kepala daerah juga ikut dirasakan oleh pejabat yang masih menjabat, baik itu eksekutif maupun legeslatif, hal ini telah terlihat sejak tahun 2015.Banyak masyarakat yang mengeluh akan kinerja pejabat-pejabat yang kurang fokus terhadap pekerjaannya dan lebih memprioritaskan partai dan calon yang didukung. Wajar saja fenomena seperti ini terjadi, karena yang saat ini menjabat juga tidak terlepas dari peran partai dan wajar saja ada yang memprioritaskan kepentingan partai dari pada menjalankan janji-janji yang telah diumbar manis sebelumnya, yang merasakan sengsara tetap masyarakat.
Sementara itu, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh atau KPU  sedang menyusun pelaksanaan Pilkada Aceh 2017 yang dilakukan serentak dengan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur serta 21 bupati/wali kota dan wakilnya di Aceh. Dimana diperkirakan total anggaran untuk Pilkada Aceh mencapai angka Rp. 200 Milyar. Anggaran pilkada itu harus sudah termasuk untuk sosialisasi. Sosialisasi pilkada ini penting untuk meningkatkan partisipasi aktif masyarakat memilih pemimpinannya. Selama ini terkendala kurangnya partisipasi masyarakat dalam pemilu. Rendahnya partisipasi itu karena banyak masyarakat tidak paham proses pemilu. Dengan sosialisasi ini, masyarakat diharapkan memahami proses pemilu, sehingga memilih pemimpin yang terbaik untuk mereka dan tidak golput (golongan putih).

Ahok Syndrome
Masyarakat Aceh tentu sangat berharap terpilihnya pemimpin yang memimpin Aceh kedepan seperti gaya kepemimpinan Ahok di DKI Jakarta, terlepas dia beragama Kristen dan China, namun Ahok tidak tolerir dengan korupsi, tak pandang bulu terhadap budaya malas PNS, serapan anggaran yang minim, solusi masalah banjir dan macet Jakarta dan tidak segan berhadap-hadapan dengan pihak DPRD jika tidak memihak pada rakyat. Ahok yang oleh sebagian orang dianggap sebagai orang yang tidak sopan, kasar, kurang komunikatif, menyengsarakan rakyat karena rendahnya serapan anggaran. Bukankah ini adalah sifat negatif yang akan mengurangi kepercayaan pada Ahok? Ya! Tapi ditengah kemuakkan masyarakat terhadap kemunafikan dan korupsi. Penilaian sebagian besar masyarakat justru berbalik.
Sekarang ini rakyat Aceh mengidamkan pemimpin Aceh kedepan sebagai pemimpin transformatif, visioner, berani, tegas, jujur dan bekerja untuk kepentingan rakyat., bukan karena latar belakang kombatan atau dirjen kementerian. Gubernur yang berani terhadap prilaku puluhan tahun PNS di Aceh terbiasa “dilayani” untuk mengubah paradigma ”melayani” bagi masyarakat, mereka terbelenggu euforia lama, dan lebih asyik nongkrong di warkop-warkop saat jam kerja/dinas. Kemudian Gubernur,  dan Bupati/  Walikota di Aceh harus yang visioner dan tidak melek informasi teknologi, zaman sudah berubah diharaskan Gubernur,  dan Bupati/  Walikota di Aceh kedepan memiliki akun-akun media social seperti Twitter, Facebook, SMS dan  lain-lain untuk menerima laporan dan keluhan langsung dari rakyat Aceh, bukan menutup diri di kantor Gubernur, jarang ke lapangan kecuali ada bencana untuk melihat langsung rakyatnya. Jika masuk sms /keluhan dan laporan dari rakyat Aceh, Gubernur,  dan Bupati/  Walikota Aceh  bisa langsung merespons. Menginstruksikan petugas terkait ke TKP, menyelesaikan masalah on time on the spot. Semua pekerjaan ada batas waktu dan progress report yang harus disampaikan ke atasan.
Menarik menyimak peta politik Aceh adalah kandidat selain diusung oleh partai politik dan jalur perseorangan atau indenpenden,  pada tanggal 24 februari 2016, lahirnya suatu posko rakyat non partai seluruh kabupaten/kota di Aceh. Posko ini dinamakan Achenese Australia Association (AAA) yang bertujuan untuk mencari sosok Cagub-Cawagub Aceh dan cabup/cawabup serta cawalkot/cawawalkot di Aceh 2017-2022 yang cerdas, berani dan bersinergi dengan rakyat. Karena “tanpa rakyat negara tidak ada, tanpa rakyat pemerintah tidak ada, kedaulatan ada di tangan rakyat.” Dengan adanya posko rakyat non partai ini mampu mempersatukan rakyat Aceh untuk sama-sama mencari calon pemimpin yang benar-benar sesuai dengan keinginan rakyat bukan titipan partai politik.
Terkait dengan visi dan misi, biasanya visi misi dan program yang sedikit bisa lebih cepat di implementasikan ketika sudah terpilih nantinya dibandingkan kandidat dengan berbagai macam bualan dan segudang program dan janji-janji politik, ujung-ujungnya hanya beberapa yang ditepati dan dilaksanakan. Setidaknya calon kandidat yang akan terlibat dalam pertarungan menuju Aceh 1 dan 2 serta orang nomor satu dan nomor dua di daerah kabupaten/kota  masing-masing dimasa mendatang, harus memperkuat pemahaman dan kewaspadaan bersama, terutama menyangkut tiga hal: Pertama, isu konflik dan pembangunan; Kedua, pembangunan sebagai konflik, dan; Ketiga adalah sektor ekonomi penyebab konflik.karena kesenjangan pembangunan bukan tidak tertutup kemungkinan isu ALA dan ABAS akan berhembus kembali yang menyita perhatian publik di Aceh, konon lagi dalam sejarah Aceh ada istilah Aceh Lhee Sagoe. Masalah tersebut tidak akan menjadi blunder para calon Gubernur Aceh yang katanya sama-sama melirik dan meninang pasangan dari kawasan tengan dan barat selatan Aceh. Tentunya kita masyarakat Aceh tidak menginginkan pemimpinnya pecah kongsi ditengah jalan seperti yang sudah-sudah, belum genap 5 tahun kepemimpinan Gubernur dan Wakil Gubernur sudah tidak kompak lagi dalam memimpin roda pemerintahahan biasanya unsur kepentingan yang dominan.

            Semoga Pilkada Aceh 2017 nanti bisa berlangsung layaknya sebuah pertandingan bola yang cantik dan berkualitas, sehingga menjadi tontonan yang mengasyikkan. Suasana demikian hanya akan tercipta jika semua elemen yang terlibat memenuhi persyaratan normatif. Para pemainnya berkualitas, wasitnya fair dengan aturan yang jelas, serta supporternya menjunjung tinggi norma-norma hukum. Seperti halnya masyarakat yang sedang demam Piiala Dunia, sekarang dilanda demam Pilkada Aceh. Akankah elemen-elemen tersebut terpenuhi dalam Pilkada Aceh 2017? Jika tidak, jangan harap masa depan Aceh akan lebih baik di masa mendatang, Nah, Nyan Ban !!!


*)  Penulis adalah
Bagian Akuntansi, Audit dan Pelaporan
/Penata Laporan Keuangan
PDAM Tirta Krueng Meureudu
Pidie Jaya - Aceh - Indonesia 24186



No comments:

Post a Comment