Mengapa
Harus Berbeda Dalam Pilkada Aceh?
Oleh
Teuku Rahmad Danil Cotseurani
Tidak dapat dipungkiri bahwasa
dalam pilkada Aceh 2017 rakyat Aceh akan terpecah suara dalam pemilihan calon
pimpinan kepala daerah, sungguh perbedaan tidak dapat dihindari namun alangkah
lebih indahnya bila persatuan dan perdamaian bersemi abadi di tanah Aceh, dan
semoga perpecahan karena perbedaan pilihan dalam pilkada dapat dihindari.
Sangat disayangkan bila perbedaan terus terjadi sesame masyarakat Aceh ikhwal
pemilihan kepala daerahnya, padahal Jakarta dalam hal ini pemerintah pusat
sudah memberikan keistimewaan khusus bagi Aceh dalam bidang politik, hal
pemilihan kepala daerah, dan yang paling fenomenal adalah satu-satunya provinsi
di Indonesia yang boleh mendirikan partai lokal, hal ini termaktum dalam UUPA
pemerintah Aceh yang disahkan 1 Agustus 2006 sesuai dengan UU no 11 tahun 2006.
Kekhususan Aceh yang termaktub
dalam UUPA merupakan kelebihan sekaligus kekurangan Aceh dibanding daerah lain.
Melalui UUPA, Aceh memiliki keleluasaan yang luas dalam mengatur rumah
tangganya sendiri. Aceh dapat menyelenggarakan tata kelola pemerintahannya
sendiri tanpa harus terikat dengan UU yang berlaku secara nasional. Namun
berbeda halnya dalam konteks penyelenggaraan Pemilu. Ketentuan pemilu yang
sejatinya dinamis justru menjadi kaku dan sulit beradaptasi dengan dinamisasi
demokrasi tanah air begitu diatur pasal per pasal dalam UUPA.
Adapun jelang Pilkada
Aceh 2017, Sejumlah nama bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh
dan Bupati, Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota mulai bermunculan
dan ramai diperbincangkan publik di berbagai tempat. Tak hanya di dunia nyata
seperti di tempat keramaian, di dunia maya pun sama. Beberapa tokoh yang
mencuat dan dinyatakan bakal bersaing merebut kursi Aceh 1 periode 2017-2022
adalah Irwandi Yusuf berpasangan dengan Nova Iriansyah, Muzakir Manaf berpasangan
dengan TA. Khalid, Kemudian ada Tarmizi Karim Berpasangan dengan Zaini T.
Machsalmina, mantan
Menteri Pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Zakaria Saman berpasangan dengan
T. Alaidinsyah. Belakangan Zaini Abdullah berpasangan dengan Nasaruddin, turut
ambil bagian dalam pesta demokrasi pilkada kali ini adalah Abdullah Puteh yang
berpasangan dengan Sayed Mustafa Usab.
Keempat tokoh semuanya mantan petinggi GAM, Muzakir Manaf, Irwandi
Yusuf, kemudian Zakaria Saman dan Zaini
Abdullah sama-sama menjabat sebagai Tuha Peut alias Dewan Pertimbangan Partai
Aceh. Dan diikuti oleh puluhan dan ratusan nama calon baik dari dukungan partai
atau koalisi partai dan calon dari perseorangan atau independen yang akan
menyemarakkan bursa pencalonan pilkada di tingkat kabupaten dan kota di Aceh.
Dapat masyarakat berasumsi bahwa diantara beberapa calon
gubernur dari perahu yang sama sebelumnya yaitu Zaini Abdullah, Zakaria Saman,
Muzakir Manaf dan Irwandi Yusuf mengindikasikan tipikal masyarakat Aceh susah
bersatu dan lebih memilih perpecahan, padahal sebelumnya sama-sama dalam
perjuangan ketika damai hadir dan diakomodasikan untuk berpolitik dengan
dibolehkannya partai lokal di Aceh, dalam hal ini partai lokal mayoritas dan
terbesar adalah Partai Aceh, lalu ada Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai
Daulat Aceh (PDA). Jika mereka bersatu dan mengusung satu pasangan saja untuk
menjadi gubernur dan wakil gubernur Aceh dengan mengeyampingkan ego dan
kepentingan pribadi niscaya kemakmuran, kesejahteraan, pembangunan dan ekononi
masyarakat Aceh dapat segera terwujud karena di level atas sudah tidak ada
khilafiyah lagi dan satu kata demi kepentingan rakyat Aceh, mengapa harus
berbeda? Jika itu tujuan utama dari para elit di Nanggroe.
Pecahnya dukungan yang diberikan
suatu entitas tertentu tidak dapat terhindarkan dalam pilkada kali ini seperti
halnya di Aceh dimana partai penguasa, yaitu Partai Aceh tidak satu kata dalam
memberi dukungannya terhadap pilkada kali ini. Dimana kalangan tua-tua (tuha
peut) memilih untuk bertarung secara Ksatria lewat jalur perseorangan dan
kalangan muda-muda mendukung pasangan Muzakir Manaf-TA Kahlaid, bahkan ada yang
mengalihakan dukungannya ke kandidat lainnya. Semoga saja rakyat Aceh cerdas
menyikapinya dan tidak terjadi perpecahan didalam masyarakat dalam mendukung
suatu pasangan calon yang hanya heboh menjelang Februari 2017, selepas itu kehidupan
rakyat akan seperti sedia kala, yang bekerja tetap bekerja, yang pedagang tetap
berdagang, tidak ada yang lebih dan
perubahan dalam hal kehidupan ini, walaupun janji-janji muluk pasangan calon
gubernur dan calon wakil gubernur serta calon bupati/walikota dan wakil
bupati/wakil walikotasaat kampanye dalam rangka mengambil hati rakyat Aceh.
Walaupun ada pasangan dari partai
nasional yang bertarung tentu mereka akan menjadi penghibur dan bumbu penyedap
saja dalam pilkada Aceh, pun karena tidak dibolehkan adanya calon tunggal untuk
maju menjadi calon kepala daerah. Namun skenario Jakarta ternyata lebih ampuh
dan mujarab untuk membuat perbedaan diantara tokoh-tokoh Aceh sehinga mereka
yang dari kalangan pejuang yang sama dan partai yang sama bisa berambisi
sama-sama menjadi calon gubernur dan wakil gubernurAceh dengan melilh jalur
perseorangan atau independen atau berkoalisi dengan partai nasional dan gabungan
partai. Bila masyarakat lihat tidak ada yang murni dari partai lokal untuk maju
semua berkoalisi dengan partai nasional kecuali yang dari independen.
Padahal Partai Aceh (PA) selaku partai lokal yang menang
mutlak pada pemilu yang lalu seharusnya yang berhak mengajukan pencalonan kepala daerah untuk gubernur dan wakil gubernur
juga bupati/walikota dan wakil bupati/walikota se-Aceh dari kalangan internal atau kader
PA. Aceh memang beda bila kita
lihat dengan propinsi lain di Indonesia, punya tempat khusus dimata Mahkamah
Konstitusi (MK) dimana jalur independen kembali diperbolehkan untuk bertarung
dipilkada tahun ini. Padahal semua tahu, partai lokal adalah penguasa parlemen
Aceh, seharusnya tokoh-tokoh dari partai tersebutlah yang lebih dominan untuk
menduduki posisi satu dan dua di daerah tingkat I dan daerah tingkat II, namun
kali ini dari jalur perseorangan dapat kembali mencalonkan diri asalkan sejumlah
syarat dapat terpenuhi seperti pengumpulan KTP masyarakat, bahkan
mantan narapidanapun dapat mencalonkan diri setelah MK menerima gugatan salah
satu calon gubernur Aceh tersebut. Segenap lapisan masyarakat dipersilahkan memimpin rakyat
Aceh baik dari kalangan politisi,
akademisi, pengusaha,seniman, praktisi, bankir, tokoh pemuda, tokoh
masyarakat sampai tukang becakpun dibolehkan asal cukup syarat untuk menjadi
calon pemimpin daerah karena ada dua jalur yang tersedia dengan partai atau
koalisi partai atau dengan perseorangan atau independen.
Untuk itulah peranan ureng-ureng tuha di partai Aceh maupun Wali Nanggroe untuk mengajak kembali
para mantan kombatan, teman-teman seperjuangan dan rakyat Aceh pada umumnya
untuk kembali ke rumah kita, partai Aceh dan sama-sama berjuang dijalur yang
sudah diamanahkan oleh Undang-undang dan memenangkan pasangan calon kepala
daerah baik gubernur dan wakil gubernur maupun calon bupati/wakil bupati atau
calon walikota/wakil walikota yang diusung Partai Aceh (PA) dan mengapa harus berbeda bila kita ada
kekhussusan dalam tata kelola pemerintahan sendiri.
Fenomena ini membuat semua orang galak jeut keu raja,karena memang peluang itu ada tergantung
dipilih atau tidak oleh rakyat, Namun apakah ada calon pemimpin yang mulia, pro
rakyat dan berhati pahlawan yang ikhlas berbuat untuk daerah ini,bukan karena
kepentingan dan impian bisnis atau uang yang akan melimpah di propinsi kaya tapi rakyatnya miskin
ini. Sepertinya sosok inilah yang dibutuhkan rakyat, tentunya tidak harus dari
kalangan politisi yang tak kenal kawan dan lawan, tidak harus dari kalangan
akademisi yang terlalu larut dengan teori-teori, tidak harus dari kalangan pengusaha yang dengan
usaha yang dirintis, orang yang sudah mapan dalam kerajaan bisnisnya dan sehingga
rakyat akan berpikir
tidak ada kepentingan untuk memperkaya diri dengan jabatan dan kekuasaan, Aceh
butuh figur yang benar-benar mementingkan rakyat, berjiwa pahlawan dan
pengabdian bagi daerah dan negerinya. Pahlawan seseorang yang berbuat pamrih
tanpa mengharap imbalan demi kepentingan orang banyak. Bukan seperti pahlawan
tanpa tanda jasa yang identik dengan guru, apa pantas dikatakan pahlawan untuk
lulus jadi PNS saja harus sogok,atau pahlawan-pahlawan dibidang-bidanglain,yang
sebelum mendapatkan gelar itu sudah main suap dan ingin dikenang oleh rakyat,
tentu bukan pemimpin berhati pahlawan yang sedang diidam-idamkan oleh rakyat
Aceh.
Partai Lokal
Sungguh disayangkan perbedaan diantara elit partai Aceh,
antara kalangan tua-tua dengan kalangan muda, bahkan kalangan yang sudah resign dari partai Aceh dan membentuk
partai lokal lainnya. Memang ada kewenangan untuk pembentukan partai lokal di
Aceh, asalkan asasnya tidak bertentanan dengan pancasila dan UUD 1945.
Kehadiran sosok Wali Nanggroe dalam struktur lembaga dan pemerintah Aceh
ternyata belum mampu memberi andil dan nesahat khusus untuk menghentikan
perbedaan yang terjadi ditubuh partai Aceh, yang lahir dari proses perjuangan demi
pengorbanan jiwa raga, air mata, harta benda dan yatim serta janda di Aceh.
Padahal kewenangan Lembaga Wali Nanggroe sebagai pemersatu masyarakat yang
independen, berwibawa disamping berwenang membina dan mengawasi
penyelenggaraaan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian
gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
Ada yang menyatakan Perbedaan pilihan dalam pilkada Aceh, tak
masalah karena hal itu mencirikan keberagaman masyarakat Aceh. Perbedaan
seperti inilah yang menjadi semangat kemerdekaan Indonesia dan Bhineka Tunggal
Ika saja. Untuk menjaga keutuhan NKRI,
merawat perdamaian Aceh dan mendorong Pilkada Aceh berjalan sesuai dengan
konstitusi, serta menghargai perbedaan pilihan. Biasa karena perbedaan pilihan
bisa menjadi ancaman ketertiban keamanan dan mencederai nilai-nilai aman dan
damai di bumi Aceh.
Perkiraan ancaman yang dirangkum Polda Aceh berdasarkan
pemilihan umum sebelumnya ialah kemacetan dan kecelakaan lalu lintas,
perkelahian antarpendukung, penghinaan terhadap pasangan calon, pengrusakan dan
pembakaran, serta penculikan tim sukses dan pasangan calon. Ketika masa tenang,
perkiraan ancaman yang terjadi ialah money politics, teror atau intimidasi
terhadap pemilih, sabotase surat suara, dan penghadangan surat suara. Ketika
pemungutan suara, perkiraan ancaman yang terjadi ialah intimidasi terhadap
pemilih dan saksi di TPS, pengrusakan bilik suara, manipulasi surat suara,
serta aksi protes oleh saksi. “Banyak yang prediksi dari pengamat, ahli, KPU
pusat, Pilkada Aceh 2017 nanti akan terjadi apa-apa. Makanya kita jaga proses
pilkada,” kata Kapolda Aceh di hadapan peserta Rapat Koordinasi Forkopimda
se-Aceh di Gedung Serbaguna Setda Aceh, Selasa, 23 Agustus 2016. Sementara
wilayah yang sangat rawan terjadi pelanggaran pada pemilihan kepala daerah di
antaranya Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Singkil, Aceh Timur, dan
Lhokseumawe. Disinilah butuh kesiap-siapan dan tenaga ektra aparat keamanan
untuk memberi keamanan bagi masyarakat Aceh.
Semua elemen masyarakat Aceh sangat menginginkan pilkada Aceh
2017 berjalan damai dan aman masih tertingat bagaimana riuh dan mencekamnya
pilkada Aceh 2012 sampai harus ada korban nyawa dalam tahapan pilkada Aceh
waktu itu. Maka dari itu untuk pilkada Aceh 2017, Pemangku Kepentingan dan
masyarakat Aceh diantaranya KIP Aceh, Polda, Kodam, Kesbangpol, Jubir Partai
Aceh, Tidar Partai Gerindra, Perwakilan DPW PDIP, Perwakilan DPW Partai
Demokrat, Sekretaris Tim Pemenangan Balon Gubernur Aceh dari Pasangan
Zaini-Nasaruddin, Perwakilan FPI Aceh, HMI, PII, KNPI, dll pun menyampaikan tiga poin penting yang
dituangkan dalam ikrar komitmen bersama yang berisikan yaitu :
“Kami para Pemangku Kepentingan dan segenap masyarakat Aceh mengharap rahmat dan ridha Allah SWT, dengan penuh kesadaran akan pentingnya persatuan dan persaudaraan” :
Pertama, akan senantiasa menjaga keutuhan NKRĂ dan merawat perdamaian Aceh. Kedua, akan mendorong terwujudnya proses demokrasi yang bersih, santun dan damai. Terakhir, akan selalu menghargai perbedaan pilihan dalam Pilkada sesuai dengan hati sanubari masing-masing.
“Kami para Pemangku Kepentingan dan segenap masyarakat Aceh mengharap rahmat dan ridha Allah SWT, dengan penuh kesadaran akan pentingnya persatuan dan persaudaraan” :
Pertama, akan senantiasa menjaga keutuhan NKRĂ dan merawat perdamaian Aceh. Kedua, akan mendorong terwujudnya proses demokrasi yang bersih, santun dan damai. Terakhir, akan selalu menghargai perbedaan pilihan dalam Pilkada sesuai dengan hati sanubari masing-masing.
Tentu saja harapan pilkada damai
adalah harapan semua orang, terutama para tim sukses kandidat calon pasangan
dalam memobilisasi massa atau saat kampanye hendaknya berlaku sopan tidak
menghina kandidat lain, intimidasi pemilih dan lain sebagainya. Masyarakat mari
datang ke TPS-TPS untuk memberikan hak suara anda sesuai pilihan kata hati
nurani, jangan jadi golongan putih atau tidak memilih karena boleh jadi surat
suara anda akan disalahgunakan atau terjadi hal-hal lain karena satu surat suara
bisa mempengaruhi hasil dan pemenang calon pimpinan atau kepala daerah kita. Perbedaan
adalah rahmat dan mari saling menghargai karena perbedan, agar ketentraman
terwujud menjelang pesta demokrasi lima tahunan tersebut.
Tahun politik
Sistem politik demokrasi yang mahal
membuat penguasa dan wakil rakyat tidak lagi bekerja sebagai pelayan umat dan
pemelihara urusan rakyat. Mereka malah mengabdi demi kepentingan elit pengusaha
dan para cukong pemilik modal. Mereka bahkan menjadi pelayan pihak asing.
Akibatnya, lahirlah negara korporasi; lahirlah persekongkolan penguasa dengan
pengusaha. Jadilah hubungan penguasa dengan rakyat layaknya hubungan penyedia
produk dan jasa dengan konsumen. Rakyat diposisikan sebagai konsumen yang harus
membayar pelayanan dari negara dan membeli apa saja yang disediakan negara. Melalui
proses politik demokrasi pula lahir peraturan yang menguntungkan para pemilik
modal. Bahkan pihak asing, yang notabene penghisap kekayaan negeri ini, lebih
dihormati daripada rakyatnya sendiri. Penerapan
demokrasi di bidang politik dibarengi dengan penerapan sistem kapitalisme di
bidang ekonomi. Akibat penerapan kapitalisme itu, alih-alih tercipta
kesejahteraan bersama, yang ada justru kesenjangan kelompok kaya dan miskin
makin meningkat. Dan di tahun ini, tahun 2014 ini oleh sebagian kepala
daerah, pejabat, politisi dan pengamat dianggap sebagai ‘tahun politik’.
Penyebutan ‘tahun politik’
menyiratkan setidaknya dua hal. Pertama: Politik dalam sistem demokrasi
sekular lebih didominasi oleh rebutan kekuasaan di pentas Pilkada, baik sekadar
untuk menjadi calon pemimpin rakyat di provinsi ataupun di daerah
kabupaten/kota. Kedua: Karena dalam sistem demokrasi politik lebih kental
bernuansa rebutan kekuasaan, politik dalam arti yang sebenarnya—yakni
bagaimana mengurus urusan rakyat—justru terabaikan. Pasalnya, dalam dua
tahun pertama dipastikan para wakil rakyat dan penguasa akan berusaha
mengembalikan modal politik yang amat besar—rata-rata miliaran, puluhan bahkan
ratusan miliar untuk sebagai cagub dan cabup/cawalkot—terutama untuk kampanye
Pilkada. Karena gaji yang ‘tak seberapa’ tak akan bisa membuat balik modal,
mengkorupsi uang rakyat menjadi satu-satunya cara yang paling efektif dan
efisien.
Berikutnya, dalam sisa terakhir
masa jabatan, para wakil rakyat dan penguasa itu telah mulai sibuk kembali
mempersiapkan diri untuk ‘rebutan kekuasaan’ lagi atau mempertahankan kursi
kekuasaannya. Lalu kapan rakyat diurus, padahal mereka dipilih oleh rakyat
justru untuk mengurus rakyat? Entahlah. Yang pasti, di alam demokrasi di negeri
ini, rakyat faktanya tambah sengsara dan menderita karena harga-harga makin
mahal, daya beli makin menurun, biaya kesehatan dan pendidikan makin tak terjangkau,
lapangan kerja makin sempit, dan seterusnya. Singkatnya, rakyat Aceh tetap
miskin, tetap susah dan tetap tak pernah hidup sejahtera. Yang sejahtera justru
wakil-wakil mereka DPR maupun di pemerintahan. Nah Nyan Ban!
Penulis
adalah
Bagian Akuntansi, Audit dan Pelaporan
/Penata Laporan Keuangan
PDAM Tirta Krueng Meureudu
Pidie Jaya - Aceh - Indonesia 24186
No comments:
Post a Comment