Thursday, November 10, 2016

Mengapa Harus Berbeda Dalam Pilkada Aceh?

Mengapa Harus Berbeda Dalam Pilkada Aceh?
Oleh Teuku Rahmad Danil Cotseurani
Tidak dapat dipungkiri bahwasa dalam pilkada Aceh 2017 rakyat Aceh akan terpecah suara dalam pemilihan calon pimpinan kepala daerah, sungguh perbedaan tidak dapat dihindari namun alangkah lebih indahnya bila persatuan dan perdamaian bersemi abadi di tanah Aceh, dan semoga perpecahan karena perbedaan pilihan dalam pilkada dapat dihindari. Sangat disayangkan bila perbedaan terus terjadi sesame masyarakat Aceh ikhwal pemilihan kepala daerahnya, padahal Jakarta dalam hal ini pemerintah pusat sudah memberikan keistimewaan khusus bagi Aceh dalam bidang politik, hal pemilihan kepala daerah, dan yang paling fenomenal adalah satu-satunya provinsi di Indonesia yang boleh mendirikan partai lokal, hal ini termaktum dalam UUPA pemerintah Aceh yang disahkan 1 Agustus 2006 sesuai dengan UU no 11 tahun 2006.
Kekhususan Aceh yang termaktub dalam UUPA merupakan kelebihan sekaligus kekurangan Aceh dibanding daerah lain. Melalui UUPA, Aceh memiliki keleluasaan yang luas dalam mengatur rumah tangganya sendiri. Aceh dapat menyelenggarakan tata kelola pemerintahannya sendiri tanpa harus terikat dengan UU yang berlaku secara nasional. Namun berbeda halnya dalam konteks penyelenggaraan Pemilu. Ketentuan pemilu yang sejatinya dinamis justru menjadi kaku dan sulit beradaptasi dengan dinamisasi demokrasi tanah air begitu diatur pasal per pasal dalam UUPA.
Adapun jelang Pilkada  Aceh 2017, Sejumlah nama bakal calon Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh dan Bupati, Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota mulai bermunculan dan ramai diperbincangkan publik di berbagai tempat. Tak hanya di dunia nyata seperti di tempat keramaian, di dunia maya pun sama. Beberapa tokoh yang mencuat dan dinyatakan bakal bersaing merebut kursi Aceh 1 periode 2017-2022 adalah Irwandi Yusuf berpasangan dengan Nova Iriansyah, Muzakir Manaf berpasangan dengan TA. Khalid, Kemudian ada Tarmizi Karim Berpasangan dengan Zaini T. Machsalmina, mantan Menteri Pertahanan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) Zakaria Saman berpasangan dengan T. Alaidinsyah. Belakangan Zaini Abdullah berpasangan dengan Nasaruddin, turut ambil bagian dalam pesta demokrasi pilkada kali ini adalah Abdullah Puteh yang berpasangan dengan Sayed Mustafa Usab.  Keempat tokoh semuanya mantan petinggi GAM, Muzakir Manaf, Irwandi Yusuf,  kemudian Zakaria Saman dan Zaini Abdullah sama-sama menjabat sebagai Tuha Peut alias Dewan Pertimbangan Partai Aceh. Dan diikuti oleh puluhan dan ratusan nama calon baik dari dukungan partai atau koalisi partai dan calon dari perseorangan atau independen yang akan menyemarakkan bursa pencalonan pilkada di tingkat kabupaten dan kota di Aceh.
Dapat masyarakat berasumsi bahwa diantara beberapa calon gubernur dari perahu yang sama sebelumnya yaitu Zaini Abdullah, Zakaria Saman, Muzakir Manaf dan Irwandi Yusuf mengindikasikan tipikal masyarakat Aceh susah bersatu dan lebih memilih perpecahan, padahal sebelumnya sama-sama dalam perjuangan ketika damai hadir dan diakomodasikan untuk berpolitik dengan dibolehkannya partai lokal di Aceh, dalam hal ini partai lokal mayoritas dan terbesar adalah Partai Aceh, lalu ada Partai Nasional Aceh (PNA) dan Partai Daulat Aceh (PDA). Jika mereka bersatu dan mengusung satu pasangan saja untuk menjadi gubernur dan wakil gubernur Aceh dengan mengeyampingkan ego dan kepentingan pribadi niscaya kemakmuran, kesejahteraan, pembangunan dan ekononi masyarakat Aceh dapat segera terwujud karena di level atas sudah tidak ada khilafiyah lagi dan satu kata demi kepentingan rakyat Aceh, mengapa harus berbeda? Jika itu tujuan utama dari para elit di Nanggroe.
Pecahnya dukungan yang diberikan suatu entitas tertentu tidak dapat terhindarkan dalam pilkada kali ini seperti halnya di Aceh dimana partai penguasa, yaitu Partai Aceh tidak satu kata dalam memberi dukungannya terhadap pilkada kali ini. Dimana kalangan tua-tua (tuha peut) memilih untuk bertarung secara Ksatria lewat jalur perseorangan dan kalangan muda-muda mendukung pasangan Muzakir Manaf-TA Kahlaid, bahkan ada yang mengalihakan dukungannya ke kandidat lainnya. Semoga saja rakyat Aceh cerdas menyikapinya dan tidak terjadi perpecahan didalam masyarakat dalam mendukung suatu pasangan calon yang hanya heboh menjelang Februari 2017, selepas itu kehidupan rakyat akan seperti sedia kala, yang bekerja tetap bekerja, yang pedagang tetap berdagang,  tidak ada yang lebih dan perubahan dalam hal kehidupan ini, walaupun janji-janji muluk pasangan calon gubernur dan calon wakil gubernur serta calon bupati/walikota dan wakil bupati/wakil walikotasaat kampanye dalam rangka mengambil hati rakyat Aceh.
Walaupun ada pasangan dari partai nasional yang bertarung tentu mereka akan menjadi penghibur dan bumbu penyedap saja dalam pilkada Aceh, pun karena tidak dibolehkan adanya calon tunggal untuk maju menjadi calon kepala daerah. Namun skenario Jakarta ternyata lebih ampuh dan mujarab untuk membuat perbedaan diantara tokoh-tokoh Aceh sehinga mereka yang dari kalangan pejuang yang sama dan partai yang sama bisa berambisi sama-sama menjadi calon gubernur dan wakil gubernurAceh dengan melilh jalur perseorangan atau independen atau berkoalisi dengan partai nasional dan gabungan partai. Bila masyarakat lihat tidak ada yang murni dari partai lokal untuk maju semua berkoalisi dengan partai nasional kecuali yang dari independen.
Padahal Partai Aceh (PA) selaku partai lokal yang menang mutlak pada pemilu yang lalu seharusnya yang berhak mengajukan pencalonan kepala daerah untuk gubernur dan wakil gubernur juga bupati/walikota dan wakil bupati/walikota se-Aceh dari kalangan internal atau kader PA. Aceh memang beda bila kita lihat dengan propinsi lain di Indonesia, punya tempat khusus dimata Mahkamah Konstitusi (MK) dimana jalur independen kembali diperbolehkan untuk bertarung dipilkada tahun ini. Padahal semua tahu, partai lokal adalah penguasa parlemen Aceh, seharusnya tokoh-tokoh dari partai tersebutlah yang lebih dominan untuk menduduki posisi satu dan dua di daerah tingkat I dan daerah tingkat II, namun kali ini dari jalur perseorangan dapat kembali mencalonkan diri asalkan sejumlah syarat dapat terpenuhi seperti pengumpulan KTP masyarakat, bahkan mantan narapidanapun dapat mencalonkan diri setelah MK menerima gugatan salah satu calon gubernur Aceh tersebut. Segenap lapisan masyarakat dipersilahkan memimpin rakyat Aceh baik dari kalangan politisi,  akademisi, pengusaha,seniman, praktisi, bankir, tokoh pemuda, tokoh masyarakat sampai tukang becakpun dibolehkan asal cukup syarat untuk menjadi calon pemimpin daerah karena ada dua jalur yang tersedia dengan partai atau koalisi partai atau dengan perseorangan atau independen.
Untuk itulah peranan ureng-ureng tuha di partai Aceh maupun Wali Nanggroe untuk mengajak kembali para mantan kombatan, teman-teman seperjuangan dan rakyat Aceh pada umumnya untuk kembali ke rumah kita, partai Aceh dan sama-sama berjuang dijalur yang sudah diamanahkan oleh Undang-undang dan memenangkan pasangan calon kepala daerah baik gubernur dan wakil gubernur maupun calon bupati/wakil bupati atau calon walikota/wakil walikota yang diusung Partai Aceh (PA) dan  mengapa harus berbeda bila kita ada kekhussusan dalam tata kelola pemerintahan sendiri.
Fenomena ini membuat semua orang galak jeut keu raja,karena memang peluang itu ada tergantung dipilih atau tidak oleh rakyat, Namun apakah ada calon pemimpin yang mulia, pro rakyat dan berhati pahlawan yang ikhlas berbuat untuk daerah ini,bukan karena kepentingan dan impian bisnis atau uang yang akan melimpah di propinsi kaya tapi rakyatnya miskin ini. Sepertinya sosok inilah yang dibutuhkan rakyat, tentunya tidak harus dari kalangan politisi yang tak kenal kawan dan lawan, tidak harus dari kalangan akademisi yang terlalu larut dengan teori-teori, tidak harus dari kalangan pengusaha yang dengan usaha yang dirintis, orang yang sudah mapan dalam kerajaan bisnisnya dan sehingga rakyat akan berpikir tidak ada kepentingan untuk memperkaya diri dengan jabatan dan kekuasaan, Aceh butuh figur yang benar-benar mementingkan rakyat, berjiwa pahlawan dan pengabdian bagi daerah dan negerinya. Pahlawan seseorang yang berbuat pamrih tanpa mengharap imbalan demi kepentingan orang banyak. Bukan seperti pahlawan tanpa tanda jasa yang identik dengan guru, apa pantas dikatakan pahlawan untuk lulus jadi PNS saja harus sogok,atau pahlawan-pahlawan dibidang-bidanglain,yang sebelum mendapatkan gelar itu sudah main suap dan ingin dikenang oleh rakyat, tentu bukan pemimpin berhati pahlawan yang sedang diidam-idamkan oleh rakyat Aceh.

Partai Lokal
Sungguh disayangkan perbedaan diantara elit partai Aceh, antara kalangan tua-tua dengan kalangan muda, bahkan kalangan yang sudah resign dari partai Aceh dan membentuk partai lokal lainnya. Memang ada kewenangan untuk pembentukan partai lokal di Aceh, asalkan asasnya tidak bertentanan dengan pancasila dan UUD 1945. Kehadiran sosok Wali Nanggroe dalam struktur lembaga dan pemerintah Aceh ternyata belum mampu memberi andil dan nesahat khusus untuk menghentikan perbedaan yang terjadi ditubuh partai Aceh, yang lahir dari proses perjuangan demi pengorbanan jiwa raga, air mata, harta benda dan yatim serta janda di Aceh. Padahal kewenangan Lembaga Wali Nanggroe sebagai pemersatu masyarakat yang independen, berwibawa disamping berwenang membina dan mengawasi penyelenggaraaan lembaga-lembaga adat, adat istiadat, dan pemberian gelar/derajat dan upacara-upacara adat lainnya.
Ada yang menyatakan Perbedaan pilihan dalam pilkada Aceh, tak masalah karena hal itu mencirikan keberagaman masyarakat Aceh. Perbedaan seperti inilah yang menjadi semangat kemerdekaan Indonesia dan Bhineka Tunggal Ika saja. Untuk  menjaga keutuhan NKRI, merawat perdamaian Aceh dan mendorong Pilkada Aceh berjalan sesuai dengan konstitusi, serta menghargai perbedaan pilihan. Biasa karena perbedaan pilihan bisa menjadi ancaman ketertiban keamanan dan mencederai nilai-nilai aman dan damai di bumi Aceh.
Perkiraan ancaman yang dirangkum Polda Aceh berdasarkan pemilihan umum sebelumnya ialah kemacetan dan kecelakaan lalu lintas, perkelahian antarpendukung, penghinaan terhadap pasangan calon, pengrusakan dan pembakaran, serta penculikan tim sukses dan pasangan calon. Ketika masa tenang, perkiraan ancaman yang terjadi ialah money politics, teror atau intimidasi terhadap pemilih, sabotase surat suara, dan penghadangan surat suara. Ketika pemungutan suara, perkiraan ancaman yang terjadi ialah intimidasi terhadap pemilih dan saksi di TPS, pengrusakan bilik suara, manipulasi surat suara, serta aksi protes oleh saksi. “Banyak yang prediksi dari pengamat, ahli, KPU pusat, Pilkada Aceh 2017 nanti akan terjadi apa-apa. Makanya kita jaga proses pilkada,” kata Kapolda Aceh di hadapan peserta Rapat Koordinasi Forkopimda se-Aceh di Gedung Serbaguna Setda Aceh, Selasa, 23 Agustus 2016. Sementara wilayah yang sangat rawan terjadi pelanggaran pada pemilihan kepala daerah di antaranya Banda Aceh, Aceh Besar, Pidie, Bireuen, Aceh Singkil, Aceh Timur, dan Lhokseumawe. Disinilah butuh kesiap-siapan dan tenaga ektra aparat keamanan untuk memberi keamanan bagi masyarakat Aceh.
Semua elemen masyarakat Aceh sangat menginginkan pilkada Aceh 2017 berjalan damai dan aman masih tertingat bagaimana riuh dan mencekamnya pilkada Aceh 2012 sampai harus ada korban nyawa dalam tahapan pilkada Aceh waktu itu. Maka dari itu untuk pilkada Aceh 2017, Pemangku Kepentingan dan masyarakat Aceh diantaranya KIP Aceh, Polda, Kodam, Kesbangpol, Jubir Partai Aceh, Tidar Partai Gerindra, Perwakilan DPW PDIP,  Perwakilan DPW Partai Demokrat, Sekretaris Tim Pemenangan Balon Gubernur Aceh dari Pasangan Zaini-Nasaruddin, Perwakilan FPI Aceh, HMI, PII, KNPI, dll  pun menyampaikan tiga poin penting yang dituangkan dalam ikrar komitmen bersama yang berisikan yaitu :
“Kami para Pemangku Kepentingan dan segenap masyarakat Aceh mengharap rahmat dan ridha Allah SWT, dengan penuh kesadaran akan pentingnya persatuan dan persaudaraan” :
Pertama, akan senantiasa menjaga keutuhan NKRÌ dan merawat perdamaian Aceh. Kedua, akan mendorong terwujudnya proses demokrasi yang bersih, santun dan damai. Terakhir, akan selalu menghargai perbedaan pilihan dalam Pilkada sesuai dengan hati sanubari masing-masing.
Tentu saja harapan pilkada damai adalah harapan semua orang, terutama para tim sukses kandidat calon pasangan dalam memobilisasi massa atau saat kampanye hendaknya berlaku sopan tidak menghina kandidat lain, intimidasi pemilih dan lain sebagainya. Masyarakat mari datang ke TPS-TPS untuk memberikan hak suara anda sesuai pilihan kata hati nurani, jangan jadi golongan putih atau tidak memilih karena boleh jadi surat suara anda akan disalahgunakan atau terjadi hal-hal lain karena satu surat suara bisa mempengaruhi hasil dan pemenang calon pimpinan atau kepala daerah kita. Perbedaan adalah rahmat dan mari saling menghargai karena perbedan, agar ketentraman terwujud menjelang pesta demokrasi lima tahunan tersebut.   

Tahun politik                                                                                                                                         
Sistem politik demokrasi yang mahal membuat penguasa dan wakil rakyat tidak lagi bekerja sebagai pelayan umat dan pemelihara urusan rakyat. Mereka malah mengabdi demi kepentingan elit pengusaha dan para cukong pemilik modal. Mereka bahkan menjadi pelayan pihak asing. Akibatnya, lahirlah negara korporasi; lahirlah persekongkolan penguasa dengan pengusaha. Jadilah hubungan penguasa dengan rakyat layaknya hubungan penyedia produk dan jasa dengan konsumen. Rakyat diposisikan sebagai konsumen yang harus membayar pelayanan dari negara dan membeli apa saja yang disediakan negara. Melalui proses politik demokrasi pula lahir peraturan yang menguntungkan para pemilik modal. Bahkan pihak asing, yang notabene penghisap kekayaan negeri ini, lebih dihormati daripada rakyatnya sendiri. Penerapan demokrasi di bidang politik dibarengi dengan penerapan sistem kapitalisme di bidang ekonomi. Akibat penerapan kapitalisme itu, alih-alih tercipta kesejahteraan bersama, yang ada justru kesenjangan kelompok kaya dan miskin makin meningkat. Dan di tahun ini, tahun 2014 ini oleh sebagian kepala daerah, pejabat, politisi dan pengamat dianggap sebagai ‘tahun politik’. 
Penyebutan ‘tahun politik’ menyiratkan setidaknya dua hal. Pertama: Politik dalam sistem demokrasi sekular lebih didominasi oleh rebutan kekuasaan di pentas Pilkada, baik sekadar untuk menjadi calon pemimpin rakyat di provinsi  ataupun di daerah kabupaten/kota. Kedua: Karena dalam sistem demokrasi politik lebih kental bernuansa rebutan kekuasaan, politik dalam arti yang sebenarnya—yakni bagaimana mengurus urusan rakyat—justru terabaikan. Pasalnya, dalam dua tahun pertama dipastikan para wakil rakyat dan penguasa akan berusaha mengembalikan modal politik yang amat besar—rata-rata miliaran, puluhan bahkan ratusan miliar untuk sebagai cagub dan cabup/cawalkot—terutama untuk kampanye Pilkada. Karena gaji yang ‘tak seberapa’ tak akan bisa membuat balik modal, mengkorupsi uang rakyat menjadi satu-satunya cara yang paling efektif dan efisien.
Berikutnya, dalam sisa terakhir masa jabatan, para wakil rakyat dan penguasa itu telah mulai sibuk kembali mempersiapkan diri untuk ‘rebutan kekuasaan’ lagi atau mempertahankan kursi kekuasaannya. Lalu kapan rakyat diurus, padahal mereka dipilih oleh rakyat justru untuk mengurus rakyat? Entahlah. Yang pasti, di alam demokrasi di negeri ini, rakyat faktanya tambah sengsara dan menderita karena harga-harga makin mahal, daya beli makin menurun, biaya kesehatan dan pendidikan makin tak terjangkau, lapangan kerja makin sempit, dan seterusnya. Singkatnya, rakyat Aceh tetap miskin, tetap susah dan tetap tak pernah hidup sejahtera. Yang sejahtera justru wakil-wakil mereka DPR maupun di pemerintahan. Nah Nyan Ban!

Penulis adalah
Bagian Akuntansi, Audit dan Pelaporan
/Penata Laporan Keuangan
PDAM Tirta Krueng Meureudu
Pidie Jaya - Aceh - Indonesia 24186



No comments:

Post a Comment