Wednesday, November 30, 2016

Antara Peringatan Tsunami, Natal dan Tahun Baru (Mengenang 12 Tahun Tsunami Aceh)


Oleh Teuku Rahmad Danil Cotseurani

Musibah gempa yang disusul tsunami pada 26 Desember 2004 tentu punya duka mendalam bagi rakyat Aceh para keluarga yang ditinggalkan untuk selama-lamanya, tahun ini kita akan memperingati peristiwa bencana terdahsyat tsunami yang ke 11 (sebelas) tahun. Panitia tingkat provinsi Aceh tentu akan menggelar mengenang peristiwa tersebut juga halnya masyarakat akan menggelar yasinan, zikir bersama dan doa bersama untuk arwah para korban tsunami baik yang ditemukan maupun yang hilang tidak diketahui jasadnya dan upacara peringatan tsunami.
Peristiwa Tsunami Aceh lalu, merupakan bencana terbesar yang pernah melanda Indonesia dan mengguncang dunia, adalah sebaris bacaan dalam paragraf dalam kitab yang terbentang. Tapi meskipun sebaris, bacaannya bisa melahirkan beribu makna bahkan tak terhingga. Diawali dengan gempa besar berskala 8,9 SR disusul tsunami dahsyat menyapu bersih pantai-pantai Aceh, sebagian Sumatera Utara, bahkan hingga ke Somalia di benua Afrika yang berjarak ribuan kilometer dari pusat gempa di sebelah barat Provinsi Aceh.
                Setelah tsunami surut, bangunan yang tersisa di sepanjang pantai barat dan utara Aceh, semua tinggal garis-garis bekas pondasi rumah atau sekolah-sekolah. Hal ini  menunjukkan bagaimana kekuatan tsunami yang terjadi, dan tidak sedikit rekaman video amatir yang beredar di televisi untuk menggambarkan kedahsyatannya.
                Fakta tersebut merupakan sebagian informasi yang dapat diperoleh dari bacaan kitab alam yang terlihat dengan kasat mata. Namun, di balik luluh-lantaknya wilayah pantai Aceh tersebut, Allah berkehendak lain, Dia masih meninggalkan sedikit pohon dan bangunan guna menjadi peringatan bagi warga Aceh khususnya untuk dibaca dan manusia pada umumnya. Jika fakta tersebut dibaca dengan ilmu akan melahirkan berbagai makna, tergantung kepada siapa yang membacanya.
                Di Ulee Lheue, Banda Aceh, Masjid Baiturrahim masih tampak tegar. Bangunan yang berada dekat tepi pantai dan pelabuhan kecil tersebut tetap utuh. Tsunami hanya menjebol pagar dan kaca-kaca masjid tersebut. Daerah sekitar masjid hingga berkilo-kilo meter rata dengan tanah. Di Kampung Cot, Meulaboh, Aceh Barat, juga terjadi hal serupa, hanya masjid Al Hidayah yang menjadi satu-satunya bangunan yang tetap utuh. Apa yang dapat diperoleh jika fakta ini dibaca penuh dengan renungan? 
Dalam catatan, tsunami yang melanda Aceh saat itu bermula dari gempa dahsyat yang terjadi di Samudera Hindia. Pusat gempa terletak kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh pada kedalaman 10 km. Dengan berkekuatan 9,3 skala Richter (SR), gempa itu juga menggoyang wilayah Sumatera Utara, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand, Pantai Timur India, Srilanka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika. Gempa dan tsunami yang terjadi saat itu diperkirakan mematikan sekitar 230.000 orang di 8 negara (Yunisa Priyono dan Fajar Shodiq Kurniawan, 2010.
Fakta-fakta terkait gempa dan tsunami yang melanda Aceh tentu bisa ditelusuri lebih lanjut. Yang menarik, ada sebuah penelitian yang mengatakan bahwa tsunami di Aceh pada tahun 2004 itu bukan kali pertama. Diberitakan Media Indonesia, Eko Yulianto selaku peneliti Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan terjadinya tsunami di Aceh sekitar ratusan tahun silam. "Dari riset yang saya lakukan di Meulaboh, berdasarkan endapan paleotsunami, dapat dilihat bahwa pernah terjadi tsunami di Aceh sekitar 600 tahun silam.
Data yang berhasil diungkap itu menepis anggapan bahwa di Aceh tidak pernah terjadi gempa besar dengan skala di atas 9,0 pada skala Richter (SR)," kata Eko Yulianto. (Media Indonesia, 26 Juli 2011, halaman 16). Penelitian Eko Yulianto itu dimungkinkan masih debatable. Jika benar 600 tahun silam pernah terjadi tsunami di Aceh, maka dipastikan akan menjadi catatan anyar sejarah bencana di dunia. Kerumitan bisa saja mengemuka untuk memastikan pernah terjadi tsunami di Aceh pada tahun 1400-an itu.
Pada tanggal 26 Desember 2016, masyarakat Aceh akan memperingati peringatan 12 tahun tsunami Aceh, adapun pemerintah Aceh akan mengambil tema peringatan tsunami pada tahun ini adalah “Memajukan Negeri Membangun masyarakat Siaga Bencana”. Dimana seperti biasa akan diisi oleh acara zikir bersama, Ziarah kubur ke kuburan massal, dan upacara peringatan tsunami. Tidak terasa sudah 11 tahun bencana tsunami memporak-poranda Aceh, namun sebagian masyarakat ada yang sudah lupa dan Cuma ingat ketika ada ceremonial saja dan itu adalah urusan pemerintah.
Begitu mudahnya masyarakat Aceh melupakan peristiwa musibah terbesar daam sejarah itu, karena sikap dan sifat masyarakat Aceh yang tabah dan sabar dan menerima cobaan dari Allah dengan ikhlas dan lapang dada, ternyata dibalik keikhlasan dan kesabaran masyarakat Aceh, hikmah terbedar adalah kedamaian Aceh yang ditandatangani 15 Agustus 2005 oleh pihak GAM dan Pemerintah Republik Indonesia. Disamping itu berbondong-bondong negara dan NGO asing membantu masyarakat Aceh dalam menangani dan kembali pulih dari bencana tsunami yang dikelola oleh BRR NAD Nias kala itu. 11 tahun berlalu, masyarakat Aceh lupa tanggal bersejarah itu, 26 desember walau dijadikan hari berkabung, sekolah dan perkantoran diliburkan, bahkan nelayan tidak boleh melaut pada tanggal tersebut, untuk menghormati tsunami yang meluluh lantahkan aceh saat itu sesuai kearifan lokal. Namun rasanya kita lebih berhak untuk mengajukan bahwa tanggal tersebut sebagai hari tsunami internasional (dunia).

             Terkait bencana musibah tsunami pemerintah Jepang telah mengajukan tanggal 5 November untuk dijadikan hari tsunami internasional, Usulan ini pernah disampaikan Parliamentary Vice-Minister for Foreign Affairs of Japan Kazuyuki Nakane dalam pertemuan tingkat menteri yang merupakan rangkaian acara peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika, di JCC, Jakarta Senin (20/4/2015). Hal ini mengingatkan pemerintah Jepang  akan penetapan tanggal tersebut berdasarkan sebuah kisah nyata sekitar 165 tahun lalu, saat seorang pria yang berhasil menyelamatkan banyak warga sebelum tsunami menghantam sebuah perkampungan di Jepang.
Usulan Pemerintah Jepang ini kembai disampaikan oleh Ketua Liga Parlemen Indonesia-Jepang, Toshihiko Nikai dalam konferens pers seusai mengunjungi Museum Tsunami Aceh bersama rombongan di Banda Aceh, Rabu (25/11/2015).
Tentu saja masyarakat Aceh akan menolak usulan tersebut terlebih lagi para korban tsunami yang masih hidup dan keluarga korban tsunami. Itu itu kita mengajak pemerintah Aceh, DPRA, unsur muspika, forkopinda, ulama dan masyarakat Aceh pada umumnya untuk menolak usulan pemerintah Jepang tersebut dan mensosialisasikan gerakan ayo mendukung tanggal 26 Desember sebagai hari tsunami dunia dan mendesak pemerintah Republik Indonesia untuk mengajukan ke badan dunia perserikatan bangsa-bangsa (PBB).
Asal kata tsunami memang dari Jepang, dan sudah diakui dunia. Walaupun bukan Jepang yang pertama sekali kena tsunami. Tetapi setelah Jepang dihantam Tsunamo pada 5 November 1850, maka mata dunia mulai terbuka akan bahaya tsunami. Kendatipun secara kosakata bahasa Inggris tidak ada padanan kata untuk musibah air laut masuk ke darat, seperihalnya gempa bumi, Earth Quick. Dan sebagai wujud penghargaan bagi Jepang musibah tsunami yang satu ini diabadikan dalam bahasa Jepang dan sudah mendunia.
Oleh sebab itu tidak harus kembali Jepang mendapat pengakuan dunia untuk penggalan hari mengenang tsunami dari pemerintah jepang juga, karena musibah tsunami di tahun 2004 itu pada tanggal 26 Desember tidak hanya Aceh, Indonesia yang mengalaminya tapi beberapa Negara juga terjadi seperti India, Thailand, Sri lanka, Bangladesh, Myanmar dan lain sebagianya, walaupun korban jiwa tidak sebanyak di Aceh, Indonesia. Jadi, wajar sekali jika penetapan hari Internasional terhadap musibah tsunami adalah pada tanggal 26 Desember.  Pemerintah Indonesia berhak mengusulkan hari peringatan tsunami ke dunia Internasional dan mendapat pengakuan dunia. Semoga pemerintah Jepang bisa memakluminya dan menerima sebagai wujud penghargaan bagi rakyat Aceh dan Indonesia.  
Natal, peringatan tsunami Aceh  dan tahun baru 2016 apa hubungannya? Sebetulnya kita khususnya masyarakat Aceh beruntung memiliki waktu terjadinya bencana dahsyat tsunami berdekatan dengan momen natal dan pergantian tahun masehi. Apa pasal? Karena kalau kita jeli mungkin dalam kejadian itu Allah sedang menghadiahkan kita 'rem' agar kita tidak berlebihan dan kebabalasan dalam menyikapi pergantian tahun dan natal yang merupakan bukan acara dan ajaran islam, yang seperti kita mafhum selalu kita seolah-olah ikut rayakan secara berlebihan bahkan tak jarang menjadi ajang maksiat dengan pesta miras maupun ajang pelampiasan syahwat muda-mudi, pesta kembang api misalnya pada malam pergantian tahun.
Dengan adanya tsunami kita jadi sadar sesungguhnya kita masih perlu berbenah sebelum 'tsunami-tsunami' lainnya memupus harapan kita untuk memperbaiki diri dan kesempatan taubat benar-benar habis sama sekali. Itu yang mestinya kita lakukan yaitu berinstropeksi di momen mengenang tsunami setiap tahunnya, seperti halnya tahun ini merupakan peringatan yang 11 tahun  ketimbang sibuk mempersiapkan acara perayaan pergantian tahun yang sering bersifat hura-hura dan acapkali melenakan dan ikut budaya barat yang non muslim.
Pada saat itu semua orang berlomba-lomba membuat malam tersebut menjadi gegap gempita, riuh, tepuk tangan pun membahana dan tak ketinggalan di event tersebut yang paling ditunggu-tunggu adalah di ledakkannya petasan, kembang api yang menyala-nyala di angkasa, suara terompet tanda tahun telah berganti tepat pukul 00.00 WIB semua negara pun tak ketinggalan memperingatinya, termasuk di Banda Aceh atau Aceh pada umumnya dengan cara menghidupkan sirene, kembang api dan mercon ke angkasa sebagai tanda berakhirnya tahun tersebut dan dimasukinya tahun yang baru.
Ada yang menarik dalam peringatan tahun baru tersebut, di mana setiap orang memiliki impian, harapan dan cita-cita yang akan diraihnya ketika tahun pun berganti. Ada yang ingin melanjutkan pendidikan, ada yang menikah, ada yang ingin ke luar negeri, berangkat haji atau umroh, ingin menjadi penulis dan ada pula yang sederhana ingin memperbaiki rumah tangganya yang sempat mengalami kegoncangan. 
Disinilah, kita perlu mengingat kembali betapa menyedihkannya bencana Tsunami Aceh beberapa tahun yang lalu, telah merenggut banyak korban. Korban tidak hanya dari golongan pembuat maksiat tapi juga golongan anak-anak yang tidak berdosa. Tidak hanya puluhan tapi ribuan nyama melayang karena terjangan tsunami yang meluluh lantakkan sebagian dari wilayah Aceh. Tidak hanya nyawa yang dikorbankan, semua harta benda pun telah hancur dalam hitungan jam.
Padahal ketika kita mencarinya membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Bertahun-tahun dikumpulkan agar kehidupan menjadi lebih baik. Namun, karena musibah tersebut semuanya sirna begitu saja tanpa sisa. Dahsyahtnya bencana Tsunami dan berbarengan dengan menjelang tahun baru di mana muda-mudi yang asyikan dengan pergaulan bebas mereka, sex bebas dan penggunaan narkoba serta perzinahan di mana-mana mungkin menjadi satu peringatan bahwa tidak ada yang dapat hidup bebas dengan keinginan sendiri. Akan tetapi, kehidupan seseorang tetap di bawah kendali dan pengawasan Allah SWT. Sehingga jangan dianggap dengan kehidupan bebas tersebut, kita dapat melakukan kebebasan tanpa batas melanggar norma-norma agama.
Upaya pemerintah Aceh dan kota Banda Aceh tiap tahun ada untuk melarang peringatan tahun baru, hal ini dikeluarkan maklumat antara seluruh unsur muspika, ulama dan fokopimda tentang larangan memperingati tahun baru, tapi walau dilarang tetap saja para kaula muda membuat acara sesame mereka dengan sembunyi-sembunyi. Jika peringatan natal memang tidak terasa di Aceh, tetapi tahun baru, padahal acara agama Nasrani (Kristen) juga yang dibalut dengan peringatan tahun baru, karena tidak jelas dan dibalut tadi sehingga anak muda di Aceh ikut juga merayakan peringatan tahun baru setiap tahunnya, anehnya lagi ketika peringatan tahun baru Hijriah, biasa saja dan tidak ada aktifitas dari para pemuda kecuali para pemuka agama dan poemerintah Aceh saja yang menggelar acara peringatan tahun baru Islam.
Sebenarnya pengaruh media seperti televisi dan internet cepat sekali mempengaruhi pola piker generasi muda, terutama di Aceh, walaupun daerah Aceh diberlakukannya syariat Islam dan banyak aturan-aturan yang melarang peringatan hal-hal yang tidak berbau Islami seperti tahun baru masehi, natal, hari velantine, tapi siaran televise dan internet tidak akan bisa dibendung oleh pemerintah maupun ulama sekalipun. Disinilah perlunya peranan besar para orangtua dirumah untuk mendidik anak-anaknya dan lingkungannya supaya tidak terpengaruhi oleh budaya barat yang notabenenya non muslim untuk menghancurkan generasi Islam dengan banyak cara dan pola yang kaum non muslim rencanakan tanpa harus kontak fisik seperti invasi atau perang untuk menghancurkan Islam, seperti halnya yang mereka dilakukan di Timur Tengah, Suriah, Yaman, Paletina, Irak, Libya dan  negara Arab lainnya yang menganut sistim pemerintahan demokrasi.
Pemerintah Aceh, ulama dan para orangtua di Aceh perlu kolaborasi yang sempurna untuk membendung semua pengaruh dan budaya asing yang siap menggrogoti khasanah dan budaya Aceh yang identik dengan Islam. merupakan sebuah catatan bahwa dunia ini tidak ada yang kekal dan tidak ada yang bebas sebebas-bebasnya tanpa aturan Tuhan. Karena bukan tidak mungkin ketika kesesatan dan kemaksiatan merajalela maka kita semua akan menjadi korban berikutinya. Korban dari bencana dan peringatan Allah atas kelalaian kita dalam mengingatNya. Selamat memperingati peristiwa tsunami Aceh, Semoga Allah mengampuni siapa saja yang menjadi korban tsunami, korban konflik  dan menempatkan arwah mereka di tempat yang layak di sisiNya. amiin. 

*) Penulis adalah
Bagian Akuntansi, Audit dan Pelaporan
/Penata Laporan Keuangan
PDAM Tirta Krueng Meureudu
Pidie Jaya - Aceh - Indonesia 24186


No comments:

Post a Comment