Oleh Teuku Rahmad
Danil Cotseurani
Musibah gempa yang disusul
tsunami pada 26 Desember 2004 tentu punya duka mendalam bagi rakyat Aceh para
keluarga yang ditinggalkan untuk selama-lamanya, tahun ini kita akan
memperingati peristiwa bencana terdahsyat tsunami yang ke 11 (sebelas) tahun.
Panitia tingkat provinsi Aceh tentu akan menggelar mengenang peristiwa tersebut
juga halnya masyarakat akan menggelar yasinan, zikir bersama dan doa bersama
untuk arwah para korban tsunami baik yang ditemukan maupun yang hilang tidak
diketahui jasadnya dan upacara peringatan tsunami.
Peristiwa Tsunami Aceh lalu, merupakan
bencana terbesar yang pernah melanda Indonesia dan mengguncang dunia, adalah
sebaris bacaan dalam paragraf dalam kitab yang terbentang. Tapi meskipun
sebaris, bacaannya bisa melahirkan beribu makna bahkan tak terhingga. Diawali
dengan gempa besar berskala 8,9 SR disusul tsunami dahsyat menyapu bersih
pantai-pantai Aceh, sebagian Sumatera Utara, bahkan hingga ke Somalia di benua
Afrika yang berjarak ribuan kilometer dari pusat gempa di sebelah barat
Provinsi Aceh.
Setelah tsunami surut, bangunan yang
tersisa di sepanjang pantai barat dan utara Aceh, semua tinggal garis-garis
bekas pondasi rumah atau sekolah-sekolah. Hal ini menunjukkan bagaimana
kekuatan tsunami yang terjadi, dan tidak sedikit rekaman video amatir yang
beredar di televisi untuk menggambarkan kedahsyatannya.
Fakta tersebut merupakan sebagian
informasi yang dapat diperoleh dari bacaan kitab alam yang terlihat dengan
kasat mata. Namun, di balik luluh-lantaknya wilayah pantai Aceh tersebut, Allah
berkehendak lain, Dia masih meninggalkan sedikit pohon dan bangunan guna
menjadi peringatan bagi warga Aceh khususnya untuk dibaca dan manusia pada
umumnya. Jika fakta tersebut dibaca dengan ilmu akan melahirkan berbagai makna,
tergantung kepada siapa yang membacanya.
Di Ulee Lheue, Banda Aceh, Masjid
Baiturrahim masih tampak tegar. Bangunan yang berada dekat tepi pantai dan
pelabuhan kecil tersebut tetap utuh. Tsunami hanya menjebol pagar dan kaca-kaca
masjid tersebut. Daerah sekitar masjid hingga berkilo-kilo meter rata dengan
tanah. Di Kampung Cot, Meulaboh, Aceh Barat, juga terjadi hal serupa, hanya
masjid Al Hidayah yang menjadi satu-satunya bangunan yang tetap utuh. Apa yang
dapat diperoleh jika fakta ini dibaca penuh dengan renungan?
Dalam catatan, tsunami yang
melanda Aceh saat itu bermula dari gempa dahsyat yang terjadi di Samudera
Hindia. Pusat gempa terletak kurang lebih 160 km sebelah barat Aceh pada
kedalaman 10 km. Dengan berkekuatan 9,3 skala Richter (SR), gempa itu juga
menggoyang wilayah Sumatera Utara, Pantai Barat Semenanjung Malaysia, Thailand,
Pantai Timur India, Srilanka, bahkan sampai Pantai Timur Afrika. Gempa dan
tsunami yang terjadi saat itu diperkirakan mematikan sekitar 230.000 orang di 8
negara (Yunisa Priyono dan Fajar Shodiq Kurniawan, 2010.
Fakta-fakta terkait gempa dan
tsunami yang melanda Aceh tentu bisa ditelusuri lebih lanjut. Yang menarik, ada
sebuah penelitian yang mengatakan bahwa tsunami di Aceh pada tahun 2004 itu
bukan kali pertama. Diberitakan Media Indonesia, Eko Yulianto selaku peneliti
Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) mengungkapkan terjadinya tsunami di Aceh
sekitar ratusan tahun silam. "Dari riset yang saya lakukan di Meulaboh,
berdasarkan endapan paleotsunami, dapat dilihat bahwa pernah terjadi tsunami di
Aceh sekitar 600 tahun silam.
Data yang berhasil diungkap itu
menepis anggapan bahwa di Aceh tidak pernah terjadi gempa besar dengan skala di
atas 9,0 pada skala Richter (SR)," kata Eko Yulianto. (Media Indonesia, 26
Juli 2011, halaman 16). Penelitian Eko Yulianto itu dimungkinkan masih debatable.
Jika benar 600 tahun silam pernah terjadi tsunami di Aceh, maka dipastikan akan
menjadi catatan anyar sejarah bencana di dunia. Kerumitan bisa saja mengemuka
untuk memastikan pernah terjadi tsunami di Aceh pada tahun 1400-an itu.
Pada tanggal 26 Desember 2016, masyarakat Aceh akan
memperingati peringatan 12
tahun tsunami Aceh, adapun pemerintah Aceh akan mengambil tema peringatan
tsunami pada tahun ini adalah “Memajukan Negeri Membangun masyarakat Siaga
Bencana”. Dimana seperti biasa akan diisi oleh acara zikir bersama, Ziarah
kubur ke kuburan massal, dan upacara peringatan tsunami. Tidak terasa sudah 11
tahun bencana tsunami memporak-poranda Aceh, namun sebagian masyarakat ada yang
sudah lupa dan Cuma ingat ketika ada ceremonial saja dan itu adalah urusan
pemerintah.
Begitu mudahnya masyarakat Aceh
melupakan peristiwa musibah terbesar daam sejarah itu, karena sikap dan sifat
masyarakat Aceh yang tabah dan sabar dan menerima cobaan dari Allah dengan
ikhlas dan lapang dada, ternyata dibalik keikhlasan dan kesabaran masyarakat
Aceh, hikmah terbedar adalah kedamaian Aceh yang ditandatangani 15 Agustus 2005
oleh pihak GAM dan Pemerintah Republik Indonesia. Disamping itu
berbondong-bondong negara dan NGO asing membantu masyarakat Aceh dalam
menangani dan kembali pulih dari bencana tsunami yang dikelola oleh BRR NAD
Nias kala itu. 11 tahun berlalu, masyarakat Aceh lupa tanggal bersejarah itu,
26 desember walau dijadikan hari berkabung, sekolah dan perkantoran diliburkan,
bahkan nelayan tidak boleh melaut pada tanggal tersebut, untuk menghormati
tsunami yang meluluh lantahkan aceh saat itu sesuai kearifan lokal. Namun
rasanya kita lebih berhak untuk mengajukan bahwa tanggal tersebut sebagai hari
tsunami internasional (dunia).
Terkait bencana musibah tsunami pemerintah Jepang telah mengajukan tanggal 5 November untuk dijadikan hari tsunami internasional, Usulan ini pernah disampaikan Parliamentary Vice-Minister for Foreign Affairs of Japan Kazuyuki Nakane dalam pertemuan tingkat menteri yang merupakan rangkaian acara peringatan 60 tahun Konferensi Asia Afrika, di JCC, Jakarta Senin (20/4/2015). Hal ini mengingatkan pemerintah Jepang akan penetapan tanggal tersebut berdasarkan sebuah kisah nyata sekitar 165 tahun lalu, saat seorang pria yang berhasil menyelamatkan banyak warga sebelum tsunami menghantam sebuah perkampungan di Jepang.
Usulan Pemerintah Jepang ini
kembai disampaikan oleh Ketua Liga Parlemen Indonesia-Jepang, Toshihiko Nikai
dalam konferens pers seusai mengunjungi Museum Tsunami Aceh bersama rombongan
di Banda Aceh, Rabu (25/11/2015).
Tentu saja masyarakat Aceh akan
menolak usulan tersebut terlebih lagi para korban tsunami yang masih hidup dan
keluarga korban tsunami. Itu itu kita mengajak pemerintah Aceh, DPRA, unsur
muspika, forkopinda, ulama dan masyarakat Aceh pada umumnya untuk menolak
usulan pemerintah Jepang tersebut dan mensosialisasikan gerakan ayo mendukung
tanggal 26 Desember sebagai hari tsunami dunia dan mendesak pemerintah Republik
Indonesia untuk mengajukan ke badan dunia perserikatan bangsa-bangsa (PBB).
Asal kata tsunami memang dari
Jepang, dan sudah diakui dunia. Walaupun bukan Jepang yang pertama sekali kena
tsunami. Tetapi setelah Jepang dihantam Tsunamo pada 5 November 1850, maka mata
dunia mulai terbuka akan bahaya tsunami. Kendatipun secara kosakata bahasa
Inggris tidak ada padanan kata untuk musibah air laut masuk ke darat,
seperihalnya gempa bumi, Earth Quick. Dan sebagai wujud penghargaan bagi Jepang
musibah tsunami yang satu ini diabadikan dalam bahasa Jepang dan sudah
mendunia.
Oleh sebab itu tidak harus
kembali Jepang mendapat pengakuan dunia untuk penggalan hari mengenang tsunami
dari pemerintah jepang juga, karena musibah tsunami di tahun 2004 itu pada
tanggal 26 Desember tidak hanya Aceh, Indonesia yang mengalaminya tapi beberapa
Negara juga terjadi seperti India, Thailand, Sri lanka, Bangladesh, Myanmar dan
lain sebagianya, walaupun korban jiwa tidak sebanyak di Aceh, Indonesia. Jadi,
wajar sekali jika penetapan hari Internasional terhadap musibah tsunami adalah
pada tanggal 26 Desember. Pemerintah
Indonesia berhak mengusulkan hari peringatan tsunami ke dunia Internasional dan
mendapat pengakuan dunia. Semoga pemerintah Jepang bisa memakluminya dan
menerima sebagai wujud penghargaan bagi rakyat Aceh dan Indonesia.
Natal, peringatan tsunami
Aceh dan tahun baru 2016 apa
hubungannya? Sebetulnya kita khususnya masyarakat Aceh beruntung memiliki waktu
terjadinya bencana dahsyat tsunami berdekatan dengan momen natal dan pergantian
tahun masehi. Apa pasal? Karena kalau kita jeli mungkin dalam kejadian itu
Allah sedang menghadiahkan kita 'rem' agar kita tidak berlebihan dan
kebabalasan dalam menyikapi pergantian tahun dan natal yang merupakan bukan
acara dan ajaran islam, yang seperti kita mafhum selalu kita seolah-olah ikut
rayakan secara berlebihan bahkan tak jarang menjadi ajang maksiat dengan pesta
miras maupun ajang pelampiasan syahwat muda-mudi, pesta kembang api misalnya
pada malam pergantian tahun.
Dengan adanya tsunami kita jadi
sadar sesungguhnya kita masih perlu berbenah sebelum 'tsunami-tsunami' lainnya
memupus harapan kita untuk memperbaiki diri dan kesempatan taubat benar-benar
habis sama sekali. Itu yang mestinya kita lakukan yaitu berinstropeksi di momen
mengenang tsunami setiap tahunnya, seperti halnya tahun ini merupakan
peringatan yang 11 tahun ketimbang sibuk
mempersiapkan acara perayaan pergantian tahun yang sering bersifat hura-hura
dan acapkali melenakan dan ikut budaya barat yang non muslim.
Pada saat itu semua orang
berlomba-lomba membuat malam tersebut menjadi gegap gempita, riuh, tepuk tangan
pun membahana dan tak ketinggalan di event tersebut yang paling ditunggu-tunggu
adalah di ledakkannya petasan, kembang api yang menyala-nyala di angkasa, suara
terompet tanda tahun telah berganti tepat pukul 00.00 WIB semua negara pun tak
ketinggalan memperingatinya, termasuk di Banda Aceh atau Aceh pada umumnya
dengan cara menghidupkan sirene, kembang api dan mercon ke angkasa sebagai
tanda berakhirnya tahun tersebut dan dimasukinya tahun yang baru.
Ada yang menarik dalam peringatan
tahun baru tersebut, di mana setiap orang memiliki impian, harapan dan
cita-cita yang akan diraihnya ketika tahun pun berganti. Ada yang ingin
melanjutkan pendidikan, ada yang menikah, ada yang ingin ke luar negeri,
berangkat haji atau umroh, ingin menjadi penulis dan ada pula yang sederhana
ingin memperbaiki rumah tangganya yang sempat mengalami kegoncangan.
Disinilah, kita perlu mengingat
kembali betapa menyedihkannya bencana Tsunami Aceh beberapa tahun yang lalu,
telah merenggut banyak korban. Korban tidak hanya dari golongan pembuat maksiat
tapi juga golongan anak-anak yang tidak berdosa. Tidak hanya puluhan tapi
ribuan nyama melayang karena terjangan tsunami yang meluluh lantakkan sebagian
dari wilayah Aceh. Tidak hanya nyawa yang dikorbankan, semua harta benda pun
telah hancur dalam hitungan jam.
Padahal ketika kita mencarinya
membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Bertahun-tahun dikumpulkan agar kehidupan
menjadi lebih baik. Namun, karena musibah tersebut semuanya sirna begitu saja
tanpa sisa. Dahsyahtnya bencana Tsunami dan berbarengan dengan menjelang tahun
baru di mana muda-mudi yang asyikan dengan pergaulan bebas mereka, sex bebas
dan penggunaan narkoba serta perzinahan di mana-mana mungkin menjadi satu
peringatan bahwa tidak ada yang dapat hidup bebas dengan keinginan sendiri.
Akan tetapi, kehidupan seseorang tetap di bawah kendali dan pengawasan Allah
SWT. Sehingga jangan dianggap dengan kehidupan bebas tersebut, kita dapat
melakukan kebebasan tanpa batas melanggar norma-norma agama.
Upaya pemerintah Aceh dan kota
Banda Aceh tiap tahun ada untuk melarang peringatan tahun baru, hal ini
dikeluarkan maklumat antara seluruh unsur muspika, ulama dan fokopimda tentang
larangan memperingati tahun baru, tapi walau dilarang tetap saja para kaula
muda membuat acara sesame mereka dengan sembunyi-sembunyi. Jika peringatan
natal memang tidak terasa di Aceh, tetapi tahun baru, padahal acara agama
Nasrani (Kristen) juga yang dibalut dengan peringatan tahun baru, karena tidak
jelas dan dibalut tadi sehingga anak muda di Aceh ikut juga merayakan
peringatan tahun baru setiap tahunnya, anehnya lagi ketika peringatan tahun
baru Hijriah, biasa saja dan tidak ada aktifitas dari para pemuda kecuali para
pemuka agama dan poemerintah Aceh saja yang menggelar acara peringatan tahun
baru Islam.
Sebenarnya pengaruh media seperti
televisi dan internet cepat sekali mempengaruhi pola piker generasi muda,
terutama di Aceh, walaupun daerah Aceh diberlakukannya syariat Islam dan banyak
aturan-aturan yang melarang peringatan hal-hal yang tidak berbau Islami seperti
tahun baru masehi, natal, hari velantine, tapi siaran televise dan internet
tidak akan bisa dibendung oleh pemerintah maupun ulama sekalipun. Disinilah
perlunya peranan besar para orangtua dirumah untuk mendidik anak-anaknya dan
lingkungannya supaya tidak terpengaruhi oleh budaya barat yang notabenenya non
muslim untuk menghancurkan generasi Islam dengan banyak cara dan pola yang kaum
non muslim rencanakan tanpa harus kontak fisik seperti invasi atau perang untuk
menghancurkan Islam, seperti halnya yang mereka dilakukan di Timur Tengah,
Suriah, Yaman, Paletina, Irak, Libya dan negara
Arab lainnya yang menganut sistim pemerintahan demokrasi.
Pemerintah Aceh, ulama dan para
orangtua di Aceh perlu kolaborasi yang sempurna untuk membendung semua pengaruh
dan budaya asing yang siap menggrogoti khasanah dan budaya Aceh yang identik
dengan Islam. merupakan sebuah catatan bahwa dunia ini tidak ada yang kekal dan
tidak ada yang bebas sebebas-bebasnya tanpa aturan Tuhan. Karena bukan tidak
mungkin ketika kesesatan dan kemaksiatan merajalela maka kita semua akan
menjadi korban berikutinya. Korban dari bencana dan peringatan Allah atas kelalaian
kita dalam mengingatNya. Selamat memperingati peristiwa tsunami Aceh, Semoga
Allah mengampuni siapa saja yang menjadi korban tsunami, korban konflik dan menempatkan arwah mereka di tempat yang
layak di sisiNya. amiin.
*) Penulis adalah
Bagian Akuntansi, Audit dan Pelaporan
/Penata Laporan Keuangan
PDAM Tirta Krueng Meureudu
Pidie Jaya - Aceh - Indonesia 24186