Thursday, June 2, 2016

Utang Membengkak, Isu PHK Masal dan Harga Barang Melambung, Ada Apa Dengan Perekonomian Negeri Kita ?


Oleh Teuku Rahmad Danil Cotseurani

            Pada peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2016 di Lombok, beberapa saat yang lalu, Presiden Joko Widodo meminta pers ikut membangun optimisme kepada publik. Sebaliknya Presiden mengingatkan pers agar tidak ikut menebar pesimisme. Tidak hanya pers, rakyat kecil hingga kelas menengah saat ini sudah merasakan langsung pahitnya kehidupan “elit” alias ekonomi sulit. Realitas kehidupan tersebut diperparah lagi dengan adanya utang, korupsi, dan konstitusi liberal-kapitalis. Dimana tiga faktor ini saling berkait sangat mempengaruhi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terutaman dalam hal perekomian.
            Karena itu kekhawatiran Indonesia bisa bangkrut karena bayar utang. Belum lagi soal kewajiban negara membayar bunga obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) Rp 100 triliun per tahun, yang menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, harus terus ditanggung sampai puluhan tahun ke depan atau bahkan sampai seumur hidup. Jadi optimisme yang bagaimana? Jika ada rasa aman dan masa depan jelas otomatis. Penguasa jangan ninabobokkan rakyat dengan menutup-nutupi hal-hal yang tidak sesuai dengan realitas.
            Sejak kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa fase.Salah satunya adalah zaman pemerintahan orde baru hingga Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya.Pada pemerintahan ini,dapat dikatakan bahwa ekonomi Indonesia berkembang pesat. Dengan kembali membaiknya hubungan politik dengan negara-negara barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal mulai masuk kembali ke Indonesia.PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus meningkat.Sasaran dari kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat inflasi,mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali kegiatan produksi, terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa orde lama.Indonesia juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni Negara-negara yang tingkat prekonomiannya sangat tinggi.
Namun disamping kelebihan-kelebihan tersebut,terdapat kekurangan dalam pemerintahan orde baru.Kebijakan-kebijakan ekonomi masa orde baru memang telah membuat pertumbuhan ekonomi meningkat pesat,tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang rapuh.Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing,termasuk pinjaman dan impor.Inilah yang akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada pertengahan tahun 1997.Kecenderungan melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada tanggal 14 Mei 1998.
Sejak berdirirnya orde baru tahun 1966-1998,terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang berkembang menjadi suatu krisis ekonomi yang besar.Krisis pada tahun ini jauh lebih parah dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang pernah dialami oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden, kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor perbankan dan indikator-indikator lainnya, baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Faktor-faktor yang diduga menjadi penyebab suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi yang besar, yakni terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari 200% dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Bahkan hingga saat ini nilai tukar dollar terhadap rupiah kian menjelit hampir tembus Rp. 15.000,-.

Krisis Ekonomi di Indonesia
            Pada Juni 1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar, persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor bank yang baik. Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah bekerja baik untuk perusahaan tersebut, level efektifitas hutang mereka dan biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.Pada Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus. Pada 14 Agustus 1997, pertukaran mengambang teratur ditukar dengan pertukaran mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
            Meskipun krisis rupiah dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu: menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
            Inflasi rupiah dan peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B. J.  Habibie menjadi presiden. mulai dari sini krisis moneter Indonesia memuncak.
            Masa Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
             Kebijakan kontroversial pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
             Kebijakan yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November 2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah. 
            Menurut Keynes, investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah.  Belum lagi angka PHK masal yang akan terjadi seiring hengkangnya  perusahaan besar di Indonesia seperti Ford, Panasonic, Toshiba sampai Harley Davidson dan dunia  perbankan.

Krisis Ekonomi masa pemerintahan Joko Widodo

Demonstrasi dan protes meruak ke arah Jokowi, sebagian besar pendemo malah  mendesaknya pulang ke Solo karena gagal dan memalukan warga Solo.  Indonesia dibayangi krisis ekonomi warisan  era SBY ,dan suasananya mirip menjelang krisis moneter 1997, utang swasta saat ini kebanyakan berjangka pendek dan tanpa lindung-nilai. Banyak pula dari utang tersebut dipakai membiayai proyek jangka panjang. Para oligarki kelilingi Jokowi.
Sampai menjelang krisis moneter 1997, kinerja lembaga-lembaga keuangan Indonesia sangat kinclong. Asetnya melejit sangat cepat, demikian pula keuntungannya. Para konglomerat pemilik bank pun tampak sangat percaya diri dalam melakukan ekspansi bisnis di segala sektor.
Ketika itu Indonesia seolah tinggal selangkah menjadi negara makmur. Tapi semua itu mulai berantakan pada Agustus 1997, ketika rupiah mulai terjun bebas terhadap dollar AS. Kredit macet dan harga-harga barang langsung melambung. Rakyat pun mengamuk.
Demikian hebatnya amuk rakyat ketika itu, tentara yang biasanya sangat ampuh menghadapi kerusuhan tak berdaya. Akhirnya, ketika kobaran api dan kematian makin merebak di berbagai kota, Soeharto menyatakan mundur sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998.
Mirip menjelang Krisis moneter 1997, data BI sampai awal 2015 menunjukkan utang luar negeri swasta lebih besar ketimbang pemerintah, yaitu US$ 192 miliar berbanding US$ 136 miliar. Sama seperti dulu, kebanyakan utang swasta, menurut data BI sekarang, bersifat jangka pendek dan tanpa lindung-nilai.
Celakanya, tak sedikit dari utang Valas tersebut dipakai untuk membiayai proyek-proyek berjangka menengah atau panjang. Lebih mengkhawatirkan lagi, hasil dari proyek-proyek tersebut berbentuk rupiah. Salah satu paling berisiko adalah proyek-properti yang belakangan ini menjamur dimana-mana. Hal ini tampak kasatmata dari pembangunan perumahan, mal, superblock, dan sebagainya.Maka, seperti 1997, bila nanti rupiah jeblok berkelanjutan, kredit macet bakal melesat dan banyak proyek berhenti di tengah jalan. PHK massal pun tak terelakkan!
Bisa dipastikan, lembaga-lembaga akan mengalami kerugian besar bahkan bisa bangkrut lantaran tak sanggup menanggung kredit macet. Dan pemerintah pun dihadapkan pada dua pilihan: mengambil langkah penyelamatan dengan menalangi kredit macet para kreditor, atau membiarkan kebangkrutan terjadi. Seperti kasus Bank Century, menyelamatkan bisa membuat para pengambil keputusan menjadi bulan-bulanan para politisi, bahkan bisa masuk penjara. Bila memilih keputusan kedua, pada titik ekstrim, dunia keuangan bisa mengalami kebangkrutan massal atau jatuh sepenuhnya ke tangan asing.
Siapa yang berhak menentukan telah terjadi krisis, dan apa yang bisa dilakukan oleh Kementerian Keuangan, Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Tentu juga harus realistis bahwa sekarang ini segala sesuatu bisa dijungkirbalikkan, termasuk pasal-pasal hukum yang tersurat.
Kini secara umum lembaga keuangan, baik bank maupun yang non-bank, masih dalam kondisi sehat. Hanya saja, sejumlah isyarat bahaya sudah bermunculan. Salah satunyanya adalah anjloknya laba bank-bank swasta papan atas pada 2014. Laba perbankan swasta dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia, tahun lalu turun 7,06% dari Rp 28,12 triliun menjadi Rp 26,13 triliun.
Hanya dua bank swasta yang tahun lalu mengalami kenaikan laba, yaitu BCA dengan perolehan Rp 16,49 triliun atau naik 15,7% dari Rp 14,25 triliun; dan Bank Panin dengan pertumbuhan laba 4,42% dari Rp 2,26 triliun menjadi Rp 2,36 triliun. Bank swasta lainnya, yaitu CIMB Niaga labanya anjlok 59,13% menjadi Rp 2,34 triliun di akhir 2014; Bank Danamon rontok 36% menjadi Rp 2,6 triliun; BII ambles 65% menjadi Rp 752 miliar; dan Bank Permata turun 8,77% menjadi Rp 1,59 triliun.
Dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia itu, bank-Bank BUMN memang masih mencetak pertumbuhan laba. Total laba yang dibukukan Mandiri, BRI, BNI dan BTN tahun lalu naik 12,07% menjadi Rp 56 triliun. Dengan rincian, laba BRI naik 14,35% menjadi Rp 24,2 triliun, Mandiri naik 9,34% menjadi Rp 19,9 triliun, BNI naik 19,1% menjadi Rp 10,78 triliun. Satu-satunya bank milik pemerintah yang membukukan penurunan laba adalah BTN , yaitu dari 1,56 triliun menjadi 1,12 triliun atau turun 28,59%.
Sementara itu  merosotnya harga komoditas seperti minyak sawit, batubara dan minyak telah mendorong OJK untuk mengingatkan para bankir agar waspada terhadap bahaya kredit macet. Dengan alasan, rontoknya harga komoditas-komoditas tersebut berdampak luas terhadap perekonomian nasional. Ini karena minyak kelapa sawit dan batubara adalah komoditas unggulan Indonesia, dan minyak masih merupakan sumber penghasilan penting bagi pemerintah.
OJK tak menginginkan apa yang terjadi pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) merembet ke yang lain. Kemacetan KUR tahun lalu mencapai 4,2%, padahal batas toleransi kredit macet adalah 5%. Kenyataan ini membuat pemerintah memangkas KUR sebanyak 30% menjadi Rp 20 trilliun pada tahun ini. Agar tak kecolongan lagi, pemerintah juga tak lagi menggunakan BPD sebagai penyalur KUR. Sekarang hanya BRI, BNI, dan Mandiri yang diberi kepercayaan menyalurkan KUR.
Masyarakat belum paham benar dengan kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo dengan kabinet kerjanya, yang masyarakat rasakan adalah harga BBM naik tinggi dan turun sedikit padahal harga minyak dunia lagi jatuh, harga-harga barang di pasar melambung tinggi, belum lagi isu PHK masal dari berbagai perusahaan besar yang siap angkat kaki dari Indonesia. Sejatinya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah di berlakukan di negara-negara ASEAN bisa kita mamfaatkan sebagai ajang menunjukan jati diri bangsa dalam bidang perekomiaan tapi apa daya negara kita masih sebagai penonton dan siap digempur oleh tenaga kerja asing dan produk luar negeri yang berwara-wiri di Indonesia.  Ada apa dengan perekonomian negeri  kita?  hingga reshuffle di Kabinet kerja Jokowi belum lama inipun belum bisa meningkatakan perekonomian di Indonesia.  Dan secara fakta  Indonesia belum siap menghadapi MEA dan pasar bebas.

Kondisi Ekonomi di Aceh

            Setali tiga uang dengan perekonomian nasional, Pertumbuhan ekonomi Aceh  melemah pada triwulan II tahun 2015 sebesar -1,72%, jauh berada di bawah proyeksi yang dibuat pada triwulan lalu yang diperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,54–1,54%. Perekonomian Aceh pada triwulan III diperkirakan masih akan terkontraksi sebesar 1,84%-0,84%.
Demikian hasil kajian Bank Indonesia (BI) terhadap Ekonomi dan Keuangan Regional  Provinsi Aceh Triwulan II 2015 yang dipublikasikan lewat laman resmi BI pada Agustus ini. Hasil kajian BI, Senin, 24 Agustus 2015. Menurut BI, berakhirnya era ekspor gas Aceh menyebabkan sektor pertambangan dan industri pengolahan memberikan kontribusi negatif sebesar -3,05% dan -1,61%. Selain itu, defisitnya neraca perdagangan Aceh atau net impor memberikan dampak sangat signifikan yaitu sumbangan kontraksi sebesar -4,75%.
Perkembangan ekonomi makro dari sisi penawaran, BI menjelaskan, pada triwulan II 2105 struktur ekonomi Aceh dari sisi penawaran tidak mengalami perubahan. Sektor pertanian masih menjadi sektor utama dengan pangsa terbesar yaitu sebesar 27,1%. Selanjutnya sektor lainnya dengan pangsa terbesar adalah sektor perdagangan (15,6%), dan sektor konstruksi (9,0%)
Sementara itu, menurut BI, pertumbuhan ekonomi tanpa migas Aceh mengalami pertumbuhan sebesar 4,34%, meningkat dibandingkan triwulan yang sebesar 4,17%. Selain itu, BI menyebut sektor jasa keuangan dan konstruksi juga mengalami kontraksi. Sektor utama lainnya yang masih mengalami pertumbuhan yaitu sektor pertanian, namun mengalami perlambatan pertumbuhan sehingga belum mampu meningkatkan ekonomi Aceh secara keseluruhan. Beberapa sektor yang menjadi penopang pertumbuhan Aceh pada triwulan laporan adalah sektor pemerintahan, perdagangan, transportasi dan jasa pendidikan. Sektor-sektor tersebut mengalami peningkatan pertumbuhan dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Masih menurut BI, apabila dilihat dari sumber kontraksi, kontribusi terbesar disumbang sektor pertambangan dan industri pengolahan dengan kontribusi masing-masing sebesar -2,30% dan -1,29%. Meskipun secara keseluruhan perekonomian Aceh mengalami kontraksi, menurut BI, beberapa sektor masih tumbuh dan memberikan kontribusi positif. Di antaranya, sektor administrasi pemerintahan, perdagangan, transportasi, pertanian, dan jasa pendidikan.
Sedangkan perkembangan ekonomi makro dari sisi permintaan, menurut BI, kontraksi ekonomi Aceh dari sisi permintaan disebabkan defisitnya neraca perdagangan Aceh atau net impor. selain itu, BI menyebut, investasi juga tercatat mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar -0.15% dengan kontribusi kontraksi sebesar -0,05%. Di sisi lain, walaupun masih tumbuh positif sebesar 2,85%, perlambatan di komponen konsumsi rumah tangga (triwulan lalu sebesar 3,32%) juga berperan terhadap kondisi ekonomi Aceh pada triwulan laporan. Sementara itu, walaupun terdapat peningkatan signifikan pada komponen pengeluaran pemerintah yang tumbuh 8,34%, namun belum mampu untuk memperbaiki kondisi ekonomi Aceh pada triwulan II 2015,
BI memperkirakan perekonomian Aceh pada 2016 masih akan terkontraksi sebesar 1,84%-0,84%. Dari sisi permintaan, konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh seiring dengan meningkatnya konsumsi masyarakat perayaan puasa, lebaran dan tahun ajaran baru, namun demikian kondisi tersebut belum mampu mengimbangi kontraksi akibat defisitnya neraca dagang Aceh.
            Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE) merupakan persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat periode survei.  Ekspektasi konsumen menjadi penting untuk menjaga kinerja komponen konsumsi dalam PDRB Aceh. Oleh karena itu, pemerintah Aceh diharapkan terus meningkatkan realisasi APBA 2016 dan mendatang.
Seperti diketahui bersama ekonomi Aceh masih sangat di topang realisasi APBA secara langsung meningkatkan penerimaan beberapa perusahaan di Aceh, terutama pada sektor konstruksi. Kondisi tersebut secara tidak langsung akhirnya meningkatkan pendapatan dari masyarakat Aceh, sehingga daya beli dan tingkat konsumsi tetap terjaga. Berbeda halnya dengan provinsi tetangga Sumatera Utara, perindustrian, jasa dan perdagangan tumbuh pesat disana, terlepas pemainnya bukanlah warga lokal, akan tetapi konglomerat keturunan China adalah pemain utama perekonomian di Medan, Sumatera Utara. Dan betapa hari ini Aceh masih sangat tergantung dengan arus barang dan jasa dari Medan, bahkan sampai listrik dan telur saja harus “ekspor” dari kota nomor tiga di Indonesia tersebut.
Siapapun boleh jadi Gubernur Aceh pada pilkada 2017 nanti, namun upaya untuk melepas cengkraman Medan terhadap Aceh dari sisi ketergantungan barang, jasa dan perdagangan  dari Medan adalah hal yang sangat sulit terjadi, simak saja nanti pada ajang kampanye calon gubernur dan wakil gubernur tidak akan ada kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur  yang secara terang-terangan berani umbar janji bahwa Aceh tidak akan lagi tergantung sama Medan. Belum lagi para pejabat Aceh juga doyan ke Medan, terlepas dari minimnya hiburan, wisata dan pusat perbelanjaan di Aceh seumpama mall-mall besar. Pengusaha dan bos China Medan tidak akan rela bila Aceh “Merdeka” dari ketergantungan dengan Medan, ujung-ujungnya meraka akan rugi dan hilang pangsa pasar, sebab Riau dan Kepri lebih dekat ke Malaysia dan Singapura, sementara Sumatera Barat juga masih bisa “didekte” oleh pengusaha Medan.
Terkait dengan bisnis dan perputaran uang di Aceh, hal yang sangat ini bertolak belakang adalah meminta investor menanamkan modal di Aceh untuk menggeliatkan pertumbuhan ekonomi, serta menambah lapangan kerja bagi masyarakat Aceh. Sedangkan para pejabat dan pengusaha di Aceh sendiri malah memilih berinvestasi di Sumatera Utara dan Jakarta – diluar Aceh.  Sangat kontras dengan kehidupan masyarakat  Aceh yang masih terjebak dalam kemiskinan. Di mana persentase menunjukkan bahwa kemiskinan di Aceh merupakan salah satu yang tertinggi di Pulau Sumatera. Data yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh:  angka  kemiskinan di Aceh 18,05 persen atau meningkat daripada tahun sebelumnya.  Nah, Nyan Ban !.

*) Penulis adalah
Teuku Rahmad Danil Cotseurani
Intenal Auditor ASDC

Bireuen-Aceh-Indonesia

No comments:

Post a Comment