Dimuat
Droe Keu Droe : Serambi Indonesia, 15 Juli 2015
Fenomena Muegang atau
mak meugang hanya bisa kita jumpai di
Aceh, yang ditandai potong sapi atau lembu dan kerbau yang dijual oleh pedagang
daging mulai pasar kecamatan, pasar kabupaten dan dipusat kota Banda Aceh.
Tradisi meugang yang dilakukan
masyarakat Aceh pada saat mau menyambut puasa Ramadhan, menyambut hari raya
idul fitri dan menyambut hari raya idul adha atau hari raya haji, jadi di Aceh
dalam setahun ada tiga kali meugang dan sudah menjadi tradisi dari jaman lampau
hingga sekarang. Menariknya harga daging di Aceh ibarat harga emas yang terus
naik harganya dari tahun ke tahun, pada tahun 2014 kisaran harga daging di Aceh
rata pada saat meugang Rp. 130.000,- dan pada tahun ini, 2015 harganya
melambung jadi Rp.150.000,- dan dapat dipastikan pada tahun 2016 akan terus bergerak naik. Pun demikian
antusiasme masyarakat Aceh menyambut tiga perisiwa besar tersebut yaitu puasa,
hari raya idul fitri dan hari raya idul adha dengan meugang walau ada qurban pada hari raya idul adha tetap saja tinggi
dan mampu membeli walau harga dagingnya terus mengalami kenaikan dari masa ke
masa. Itulah keunikan masyarakat dan budaya Aceh.
Tentu bagi masyarakat kalangan menengah ke atas masalah
harga tidak menjadi soal, namun bagaimana dengan masyarakat miskin, memang
kadang kala sejumlah instansi, lembaga dan aparatur negara ada menyumbang sapi
untuk dijadikan daging meugang yang
dibagi-bagi kepada kaum miskin tapi tetap saja tidak akan merata dan dinikmati
oleh sejumlah masyarakat Aceh yang kategori miskin dan dhuafa yang ada di
seluruh Aceh. Harapan kita pada pemerintah Aceh melalui dinas terkaitnya dapat
mengontrol dan ada standar harga daging meugang
di Aceh pada khususnya, karena keaneka ragaman budayanya dan tradisi meugang yang ada setiap tahun sebanyak
tiga kali dalam setahun.
Ketika hari meugang
di Aceh yang ditandai banyaknya penjual daging yang menjajakan daging
dagangannya yang kadang kala ada lapak khusus dibuat untuk menjual daging yang
terpisah dari tempat atau pasar seperti biasanya, dan daging sapi atau kerbau
digantung untuk dijual dari sejak subuh sampai menjelang siang, namun yang
menjadi perhatian kita apakah pada saat proses pemotongan lembu atau kerbau dalam
jumlah banyak seperti itu apakah dilakukan proses secara islami dan halal? mengingat banyaknya jumlah sapi atau kerbau
yang disembilih pada saat malam atau hari meugang. Apakah ada suatu sertifikat
halal atau lisensi halal yang dikeluarkan oleh ulama Aceh untuk para pemotong
atau yang menyembelih sapi atau kerbau tersebut? dan pada akhirnya disebut
daging halal dari proses penyembelihannya.
Untuk itu disini perlu peran ulama dan umara dalam
hal ini MPU, Dinas Syariat Islam dan atau ormas-ormas islam lainnya selaku
regulator yang membuat suatu sertifikasi
atau lisensi halal untuk menjamin ummatnya masyarakat Aceh mengkonsumsi daging
yang dibeli itu secara halal dan memenuhi unsur syar’i, karena kita masyarakat
Aceh dengan syariat islamnya sudah sepantasnya masalah kehalalan suatu makanan
yang apalagi berasal dari hewan ternak
yang disembelih menjadi penting untuk mengharapkan keberkahan dari makanan yang
kita santap dari hewan ternak tersebut. Pemimpin serta ulama akan Diminta
pertangungjawabannya bila masalah keummatan kurang dihiraukan dan luput dari
perhatian kita semua.
Di Negara-negara
tetangga kita seperti Malaysia, Singapura dan Thailand sudah menerapkan dan
memberlakukan sertifikat halal terhadap daging dari hewan ternak seperti sapi
dan kerbau juga kambing mungkin mendesak dinegara-negara tersebut karena ada
satu lagi hewan ternak seperti babi yang juga dijual untuk kalangan non muslim
disana, masih untung kita mayoritas ummat Islam jadi daging babi tentu tidak
ada kita jumpai di daerah kita, namun bila mana kedepan atau dimasa akan datang
permintaan daging sapi meningkat dan pemerintah kita harus mengimpor umpamanya
daging sapi Australia dan New Zealand maka mutlak sertifikat halal perlu dan
penting sekali diterapkan.
Semoga
saja hal-hal seperti ini tidak luput dari perhatian ulama kita dari pada
mengurus masalah khilafiyah dibulan suci ramadhan, masih banyak masalah
keummatan yang perlu diperhatikan oleh ulama dan para pemimpin kita seperti
potensi zakat,infaq dan sedeqah untuk mengurangi angka kemiskinan, perbankan
islam dan seterusnya. Dan kita harapkan ketenteraman dalam menjalankan ibadah
dibulan puasa ini tanpa harus kita lihat aparat meneteng senjata lengkap ketika
kita ke masjid untuk beribadah, semoga!
Teuku
Rahmad Danil Cotseurani
Internal
Auditor ASDC Bireuen
Aceh
24251
No comments:
Post a Comment