Oleh Teuku
Rahmad Danil Cotseurani
Pada
peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2016 di Lombok, beberapa saat yang lalu,
Presiden Joko Widodo meminta pers ikut membangun optimisme kepada publik.
Sebaliknya Presiden mengingatkan pers agar tidak ikut menebar pesimisme. Tidak
hanya pers, rakyat kecil hingga kelas menengah saat ini sudah merasakan
langsung pahitnya kehidupan “elit” alias ekonomi sulit. Realitas kehidupan
tersebut diperparah lagi dengan adanya utang, korupsi, dan konstitusi
liberal-kapitalis. Dimana tiga faktor ini saling berkait sangat mempengaruhi
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terutaman dalam hal perekomian.
Karena itu
kekhawatiran Indonesia bisa bangkrut karena bayar utang. Belum lagi soal
kewajiban negara membayar bunga obligasi rekap Bantuan Likuiditas Bank
Indonesia (BLBI) Rp 100 triliun per tahun, yang menurut Wakil Presiden Jusuf
Kalla, harus terus ditanggung sampai puluhan tahun ke depan atau bahkan sampai
seumur hidup. Jadi optimisme yang bagaimana? Jika ada rasa aman dan masa depan
jelas otomatis. Penguasa jangan ninabobokkan rakyat dengan menutup-nutupi
hal-hal yang tidak sesuai dengan realitas.
Sejak
kemerdekaan hingga saat ini, Indonesia telah mengalami beberapa fase.Salah
satunya adalah zaman pemerintahan orde baru hingga Presiden Soeharto
mengundurkan diri dari jabatannya.Pada pemerintahan ini,dapat dikatakan bahwa
ekonomi Indonesia berkembang pesat. Dengan kembali membaiknya hubungan politik
dengan negara-negara barat dan adanya kesungguhan pemerintah untuk melakukan
rekonstruksi dan pembangunan ekonomi,maka arus modal mulai masuk kembali ke
Indonesia.PMA dan bantuan luar negeri setiap tahun terus meningkat.Sasaran dari
kebijakan tersebut terutama adalah untuk menekan kembali tingkat
inflasi,mengurangi defisit keuangan pemerintah dan menghidupkan kembali
kegiatan produksi, terutama ekspor yang sempat mengalami kemunduran pada masa
orde lama.Indonesia juga sempat masuk dalam kelompok Asian Tiger, yakni
Negara-negara yang tingkat prekonomiannya sangat tinggi.
Namun disamping kelebihan-kelebihan
tersebut,terdapat kekurangan dalam pemerintahan orde baru.Kebijakan-kebijakan
ekonomi masa orde baru memang telah membuat pertumbuhan ekonomi meningkat
pesat,tetapi dengan biaya yang sangat mahal dan fundamental ekonomi yang
rapuh.Hal ini dapat dilihat pada buruknya kondisi sektor perbankan nasional dan
semakin besarnya ketergantungan Indonesia terhadap modal asing,termasuk
pinjaman dan impor.Inilah yang akhirnya membuat Indonesia dilanda suatu krisis
ekonomi yang diawali oleh krisis nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pada
pertengahan tahun 1997.Kecenderungan melemahnya rupiah semakin menjadi ketika terjadi
penembakan mahasiswa Trisakti pada tanggal 12 Mei 1998 dan aksi penjarahan pada
tanggal 14 Mei 1998.
Sejak berdirirnya orde baru tahun
1966-1998,terjadi krisis rupiah pada pertengahan tahun 1997 yang berkembang
menjadi suatu krisis ekonomi yang besar.Krisis pada tahun ini jauh lebih parah
dan kompleks dibandingkan dengan krisis-krisis sebelumnya yang pernah dialami
oleh Indonesia. Hal ini terbukti dengan mundurnya Soeharto sebagai presiden,
kerusuhan Mei 1998, hancurnya sektor perbankan dan indikator-indikator lainnya,
baik ekonomi, sosial, maupun politik.
Faktor-faktor yang diduga menjadi
penyebab suatu krisis moneter yang berubah menjadi krisis ekonomi yang besar,
yakni terjadinya depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS lebih dari
200% dan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang. Bahkan hingga saat ini
nilai tukar dollar terhadap rupiah kian menjelit hampir tembus Rp. 15.000,-.
Krisis
Ekonomi di Indonesia
Pada Juni
1997, Indonesia terlihat jauh dari krisis. Tidak seperti Thailand, Indonesia
memiliki inflasi yang rendah, perdagangan surplus lebih dari 900 juta dolar,
persediaan mata uang luar yang besar, lebih dari 20 miliar dolar, dan sektor
bank yang baik. Tapi banyak perusahaan Indonesia yang meminjam dolar AS. Pada
tahun berikut, ketika rupiah menguat terhadap dolar, praktisi ini telah
bekerja baik untuk perusahaan tersebut, level efektifitas hutang mereka dan
biaya finansial telah berkurang pada saat harga mata uang lokal meningkat.Pada
Juli, Thailand megambangkan baht, Otoritas Moneter Indonesia melebarkan jalur
perdagangan dari 8 persen ke 12 persen. Rupiah mulai terserang kuat di Agustus.
Pada 14 Agustus 1997, pertukaran mengambang teratur ditukar dengan
pertukaran mengambang-bebas. Rupiah jatuh lebih dalam. IMF datang dengan paket
bantuan 23 miliar dolar, tapi rupiah jatuh lebih dalam lagi karena ketakutan
dari hutang perusahaan, penjualan rupiah, permintaan dolar yang kuat. Rupiah
dan Bursa Saham Jakarta menyentuh titik terendah pada bulan September. Moody's
menurunkan hutang jangka panjang Indonesia menjadi "junk bond".
Meskipun krisis rupiah
dimulai pada Juli dan Agustus, krisis ini menguat pada November ketika efek
dari devaluasi di musim panas muncul pada neraca perusahaan. Perusahaan yang
meminjam dalam dolar harus menghadapi biaya yang lebih besar yang disebabkan
oleh penurunan rupiah, dan banyak yang bereaksi dengan membeli dolar, yaitu:
menjual rupiah, menurunkan harga rupiah lebih jauh lagi.
Inflasi rupiah dan
peningkatan besar harga bahan makanan menimbulkan kekacauan di negara ini. Pada
Februari 1998, Presiden Suharto memecat Gubernur Bank Indonesia, tapi ini tidak
cukup. Suharto dipaksa mundur pada pertengahan 1998 dan B. J. Habibie menjadi presiden. mulai dari sini
krisis moneter Indonesia memuncak.
Masa
Kepemimpinan Susilo Bambang Yudhoyono terdapat kebijakan kontroversial yaitu
mengurangi subsidi BBM, atau dengan kata lain menaikkan harga BBM. Kebijakan
ini dilatar belakangi oleh naiknya harga minyak dunia. Anggaran subsidi BBM
dialihkan ke subsidi sektor pendidikan dan kesehatan, serta bidang-bidang yang
mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Kebijakan kontroversial
pertama itu menimbulkan kebijakan kontroversial kedua, yakni Bantuan Langsung
Tunai (BLT) bagi masyarakat miskin. Kebanyakan BLT tidak sampai ke tangan yang
berhak, dan pembagiannya menimbulkan berbagai masalah sosial.
Kebijakan
yang ditempuh untuk meningkatkan pendapatan perkapita adalah mengandalkan
pembangunan infrastruktur massal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi serta
mengundang investor asing dengan janji memperbaiki iklim investasi. Salah
satunya adalah diadakannya Indonesian Infrastructure Summit pada bulan November
2006 lalu, yang mempertemukan para investor dengan kepala-kepala daerah.
Menurut Keynes,
investasi merupakan faktor utama untuk menentukan kesempatan kerja. Mungkin ini
mendasari kebijakan pemerintah yang selalu ditujukan untuk memberi kemudahan
bagi investor, terutama investor asing, yang salah satunya adalah revisi
undang-undang ketenagakerjaan. Jika semakin banyak investasi asing di
Indonesia, diharapkan jumlah kesempatan kerja juga akan bertambah. Belum
lagi angka PHK masal yang akan terjadi seiring hengkangnya perusahaan besar di Indonesia seperti Ford,
Panasonic, Toshiba sampai Harley Davidson dan dunia perbankan.
Krisis
Ekonomi masa pemerintahan Joko Widodo
Demonstrasi dan protes meruak ke
arah Jokowi, sebagian besar pendemo malah mendesaknya pulang ke Solo
karena gagal dan memalukan warga Solo. Indonesia dibayangi krisis ekonomi
warisan era SBY ,dan suasananya mirip menjelang krisis moneter 1997,
utang swasta saat ini kebanyakan berjangka pendek dan tanpa lindung-nilai.
Banyak pula dari utang tersebut dipakai membiayai proyek jangka panjang. Para
oligarki kelilingi Jokowi.
Sampai menjelang krisis moneter
1997, kinerja lembaga-lembaga keuangan Indonesia sangat kinclong. Asetnya
melejit sangat cepat, demikian pula keuntungannya. Para konglomerat pemilik
bank pun tampak sangat percaya diri dalam melakukan ekspansi bisnis di segala
sektor.
Ketika itu Indonesia seolah tinggal
selangkah menjadi negara makmur. Tapi semua itu mulai berantakan pada Agustus
1997, ketika rupiah mulai terjun bebas terhadap dollar AS. Kredit macet dan
harga-harga barang langsung melambung. Rakyat pun mengamuk.
Demikian hebatnya amuk rakyat
ketika itu, tentara yang biasanya sangat ampuh menghadapi kerusuhan tak
berdaya. Akhirnya, ketika kobaran api dan kematian makin merebak di berbagai
kota, Soeharto menyatakan mundur sebagai Presiden RI pada 21 Mei 1998.
Mirip menjelang Krisis moneter
1997, data BI sampai awal 2015 menunjukkan utang luar negeri swasta lebih besar
ketimbang pemerintah, yaitu US$ 192 miliar berbanding US$ 136 miliar. Sama
seperti dulu, kebanyakan utang swasta, menurut data BI sekarang, bersifat
jangka pendek dan tanpa lindung-nilai.
Celakanya, tak sedikit dari utang
Valas tersebut dipakai untuk membiayai proyek-proyek berjangka menengah atau
panjang. Lebih mengkhawatirkan lagi, hasil dari proyek-proyek tersebut
berbentuk rupiah. Salah satu paling berisiko adalah proyek-properti yang
belakangan ini menjamur dimana-mana. Hal ini tampak kasatmata dari pembangunan
perumahan, mal, superblock, dan sebagainya.Maka, seperti 1997, bila nanti
rupiah jeblok berkelanjutan, kredit macet bakal melesat dan banyak proyek
berhenti di tengah jalan. PHK massal pun tak terelakkan!
Bisa dipastikan, lembaga-lembaga
akan mengalami kerugian besar bahkan bisa bangkrut lantaran tak sanggup
menanggung kredit macet. Dan pemerintah pun dihadapkan pada dua pilihan: mengambil
langkah penyelamatan dengan menalangi kredit macet para kreditor, atau
membiarkan kebangkrutan terjadi. Seperti kasus Bank Century, menyelamatkan bisa
membuat para pengambil keputusan menjadi bulan-bulanan para politisi, bahkan
bisa masuk penjara. Bila memilih keputusan kedua, pada titik ekstrim, dunia
keuangan bisa mengalami kebangkrutan massal atau jatuh sepenuhnya ke tangan
asing.
Siapa yang berhak menentukan telah
terjadi krisis, dan apa yang bisa dilakukan oleh Kementerian Keuangan, Bank
Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), atau Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS). Tentu juga harus realistis bahwa sekarang ini segala sesuatu bisa
dijungkirbalikkan, termasuk pasal-pasal hukum yang tersurat.
Kini secara umum lembaga keuangan, baik bank maupun yang
non-bank, masih dalam kondisi sehat. Hanya saja, sejumlah isyarat bahaya sudah
bermunculan. Salah satunyanya adalah anjloknya laba bank-bank swasta papan atas
pada 2014. Laba perbankan swasta dalam Top 10 bank terbesar di Indonesia, tahun
lalu turun 7,06% dari Rp 28,12 triliun menjadi Rp 26,13 triliun.
Hanya dua bank swasta yang tahun
lalu mengalami kenaikan laba, yaitu BCA dengan perolehan Rp 16,49 triliun atau
naik 15,7% dari Rp 14,25 triliun; dan Bank Panin dengan pertumbuhan laba 4,42%
dari Rp 2,26 triliun menjadi Rp 2,36 triliun. Bank swasta lainnya, yaitu CIMB
Niaga labanya anjlok 59,13% menjadi Rp 2,34 triliun di akhir 2014; Bank Danamon
rontok 36% menjadi Rp 2,6 triliun; BII ambles 65% menjadi Rp 752 miliar; dan
Bank Permata turun 8,77% menjadi Rp 1,59 triliun.
Dalam Top 10 bank terbesar di
Indonesia itu, bank-Bank BUMN memang masih mencetak pertumbuhan laba. Total
laba yang dibukukan Mandiri, BRI, BNI dan BTN tahun lalu naik 12,07% menjadi Rp
56 triliun. Dengan rincian, laba BRI naik 14,35% menjadi Rp 24,2 triliun,
Mandiri naik 9,34% menjadi Rp 19,9 triliun, BNI naik 19,1% menjadi Rp 10,78
triliun. Satu-satunya bank milik pemerintah yang membukukan penurunan laba
adalah BTN , yaitu dari 1,56 triliun menjadi 1,12 triliun atau turun 28,59%.
Sementara itu merosotnya harga komoditas seperti minyak
sawit, batubara dan minyak telah mendorong OJK untuk mengingatkan para bankir
agar waspada terhadap bahaya kredit macet. Dengan alasan, rontoknya harga
komoditas-komoditas tersebut berdampak luas terhadap perekonomian nasional. Ini
karena minyak kelapa sawit dan batubara adalah komoditas unggulan Indonesia,
dan minyak masih merupakan sumber penghasilan penting bagi pemerintah.
OJK tak menginginkan apa yang
terjadi pada Kredit Usaha Rakyat (KUR) merembet ke yang lain. Kemacetan KUR
tahun lalu mencapai 4,2%, padahal batas toleransi kredit macet adalah 5%.
Kenyataan ini membuat pemerintah memangkas KUR sebanyak 30% menjadi Rp 20
trilliun pada tahun ini. Agar tak kecolongan lagi, pemerintah juga tak lagi
menggunakan BPD sebagai penyalur KUR. Sekarang hanya BRI, BNI, dan Mandiri yang
diberi kepercayaan menyalurkan KUR.
Masyarakat belum paham benar dengan
kebijakan ekonomi Presiden Joko Widodo dengan kabinet kerjanya, yang masyarakat
rasakan adalah harga BBM naik tinggi dan turun sedikit padahal harga minyak
dunia lagi jatuh, harga-harga barang di pasar melambung tinggi, belum lagi isu
PHK masal dari berbagai perusahaan besar yang siap angkat kaki dari Indonesia.
Sejatinya Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang telah di berlakukan di
negara-negara ASEAN bisa kita mamfaatkan sebagai ajang menunjukan jati diri
bangsa dalam bidang perekomiaan tapi apa daya negara kita masih sebagai
penonton dan siap digempur oleh tenaga kerja asing dan produk luar negeri yang
berwara-wiri di Indonesia. Ada apa
dengan perekonomian negeri kita? hingga reshuffle di Kabinet kerja Jokowi belum
lama inipun belum bisa meningkatakan perekonomian di Indonesia. Dan secara fakta Indonesia belum siap menghadapi MEA dan pasar
bebas.
Kondisi
Ekonomi di Aceh
Setali tiga
uang dengan perekonomian nasional, Pertumbuhan ekonomi Aceh melemah pada triwulan II tahun 2015 sebesar
-1,72%, jauh berada di bawah proyeksi yang dibuat pada triwulan lalu yang
diperkirakan pertumbuhan ekonomi sebesar 0,54–1,54%. Perekonomian Aceh pada
triwulan III diperkirakan masih akan terkontraksi sebesar 1,84%-0,84%.
Demikian hasil kajian Bank
Indonesia (BI) terhadap Ekonomi dan Keuangan Regional Provinsi Aceh
Triwulan II 2015 yang dipublikasikan lewat laman resmi BI pada Agustus ini.
Hasil kajian BI, Senin, 24 Agustus 2015. Menurut BI, berakhirnya era ekspor gas
Aceh menyebabkan sektor pertambangan dan industri pengolahan memberikan
kontribusi negatif sebesar -3,05% dan -1,61%. Selain itu, defisitnya neraca
perdagangan Aceh atau net impor memberikan dampak sangat signifikan yaitu
sumbangan kontraksi sebesar -4,75%.
Perkembangan ekonomi makro dari
sisi penawaran, BI menjelaskan, pada triwulan II 2105 struktur ekonomi Aceh
dari sisi penawaran tidak mengalami perubahan. Sektor pertanian masih menjadi
sektor utama dengan pangsa terbesar yaitu sebesar 27,1%. Selanjutnya sektor
lainnya dengan pangsa terbesar adalah sektor perdagangan (15,6%), dan sektor
konstruksi (9,0%)
Sementara itu, menurut BI,
pertumbuhan ekonomi tanpa migas Aceh mengalami pertumbuhan sebesar 4,34%,
meningkat dibandingkan triwulan yang sebesar 4,17%. Selain itu, BI menyebut
sektor jasa keuangan dan konstruksi juga mengalami kontraksi. Sektor utama
lainnya yang masih mengalami pertumbuhan yaitu sektor pertanian, namun
mengalami perlambatan pertumbuhan sehingga belum mampu meningkatkan ekonomi
Aceh secara keseluruhan. Beberapa sektor yang menjadi penopang pertumbuhan Aceh
pada triwulan laporan adalah sektor pemerintahan, perdagangan, transportasi dan
jasa pendidikan. Sektor-sektor tersebut mengalami peningkatan pertumbuhan
dibandingkan dengan triwulan sebelumnya.
Masih menurut BI, apabila dilihat
dari sumber kontraksi, kontribusi terbesar disumbang sektor pertambangan dan
industri pengolahan dengan kontribusi masing-masing sebesar -2,30% dan -1,29%.
Meskipun secara keseluruhan perekonomian Aceh mengalami kontraksi, menurut BI,
beberapa sektor masih tumbuh dan memberikan kontribusi positif. Di antaranya,
sektor administrasi pemerintahan, perdagangan, transportasi, pertanian, dan
jasa pendidikan.
Sedangkan perkembangan ekonomi makro dari sisi permintaan,
menurut BI, kontraksi ekonomi Aceh dari sisi permintaan disebabkan defisitnya
neraca perdagangan Aceh atau net impor. selain itu, BI menyebut, investasi juga
tercatat mengalami pertumbuhan yang negatif sebesar -0.15% dengan kontribusi
kontraksi sebesar -0,05%. Di sisi lain, walaupun masih tumbuh positif sebesar
2,85%, perlambatan di komponen konsumsi rumah tangga (triwulan lalu sebesar
3,32%) juga berperan terhadap kondisi ekonomi Aceh pada triwulan laporan. Sementara
itu, walaupun terdapat peningkatan signifikan pada komponen pengeluaran
pemerintah yang tumbuh 8,34%, namun belum mampu untuk memperbaiki kondisi ekonomi
Aceh pada triwulan II 2015,
BI memperkirakan perekonomian Aceh
pada 2016 masih akan terkontraksi sebesar 1,84%-0,84%. Dari sisi permintaan,
konsumsi rumah tangga diperkirakan tumbuh seiring dengan meningkatnya konsumsi
masyarakat perayaan puasa, lebaran dan tahun ajaran baru, namun demikian
kondisi tersebut belum mampu mengimbangi kontraksi akibat defisitnya neraca
dagang Aceh.
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini (IKE)
merupakan persepsi konsumen terhadap kondisi ekonomi saat periode survei.
Ekspektasi konsumen menjadi penting untuk menjaga kinerja komponen konsumsi
dalam PDRB Aceh. Oleh karena itu, pemerintah Aceh diharapkan terus meningkatkan
realisasi APBA 2016 dan mendatang.
Seperti diketahui bersama ekonomi
Aceh masih sangat di topang realisasi APBA secara langsung meningkatkan
penerimaan beberapa perusahaan di Aceh, terutama pada sektor konstruksi.
Kondisi tersebut secara tidak langsung akhirnya meningkatkan pendapatan dari
masyarakat Aceh, sehingga daya beli dan tingkat konsumsi tetap terjaga. Berbeda
halnya dengan provinsi tetangga Sumatera Utara, perindustrian, jasa dan
perdagangan tumbuh pesat disana, terlepas pemainnya bukanlah warga lokal, akan
tetapi konglomerat keturunan China adalah pemain utama perekonomian di Medan,
Sumatera Utara. Dan betapa hari ini Aceh masih sangat tergantung dengan arus
barang dan jasa dari Medan, bahkan sampai listrik dan telur saja harus “ekspor”
dari kota nomor tiga di Indonesia tersebut.
Siapapun boleh jadi Gubernur Aceh
pada pilkada 2017 nanti, namun upaya untuk melepas cengkraman Medan terhadap Aceh
dari sisi ketergantungan barang, jasa dan perdagangan dari Medan adalah hal yang sangat sulit
terjadi, simak saja nanti pada ajang kampanye calon gubernur dan wakil gubernur
tidak akan ada kandidat calon gubernur dan calon wakil gubernur yang secara terang-terangan berani umbar janji
bahwa Aceh tidak akan lagi tergantung sama Medan. Belum lagi para pejabat Aceh
juga doyan ke Medan, terlepas dari minimnya hiburan, wisata dan pusat perbelanjaan
di Aceh seumpama mall-mall besar. Pengusaha dan bos China Medan tidak akan rela
bila Aceh “Merdeka” dari ketergantungan dengan Medan, ujung-ujungnya meraka
akan rugi dan hilang pangsa pasar, sebab Riau dan Kepri lebih dekat ke Malaysia
dan Singapura, sementara Sumatera Barat juga masih bisa “didekte” oleh
pengusaha Medan.
Terkait dengan bisnis dan
perputaran uang di Aceh, hal yang sangat ini bertolak belakang adalah meminta
investor menanamkan modal di Aceh untuk menggeliatkan pertumbuhan ekonomi,
serta menambah lapangan kerja bagi masyarakat Aceh. Sedangkan para pejabat dan
pengusaha di Aceh sendiri malah memilih berinvestasi di Sumatera Utara dan
Jakarta – diluar Aceh. Sangat kontras
dengan kehidupan masyarakat Aceh yang
masih terjebak dalam kemiskinan. Di mana persentase menunjukkan bahwa
kemiskinan di Aceh merupakan salah satu yang tertinggi di Pulau Sumatera. Data
yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) Aceh: angka kemiskinan di Aceh 18,05
persen atau meningkat daripada tahun sebelumnya. Nah, Nyan Ban !.
*) Penulis adalah
Teuku Rahmad Danil Cotseurani
Intenal Auditor ASDC
Bireuen-Aceh-Indonesia