Monday, July 25, 2016

Bangun Pabrik Gula Pasir di Aceh

Bangun Pabrik Gula Pasir di Aceh

Puasa Ramadhan tahun ini baru saja berlalu dan kita menyongsong hari kemenangan yang telah setelah kita berpuasa sebulan penuh di bulan yang mulia lebih baaik dari seribu bulan, Ramadhan Mubarak. Idul Fitri yang dinanti, dimana pada bulan ini saling maaf-maafan dan kunjung mengunjungi sesama saudara dalam ikatan jalin silaturahmi.

Fenomena yang terjadi kala ummat muslim menyambut dua bulan tersebut yaitu puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri di bulan Syawwal adalah konsumsi dan daya beli yang meningkat tajam, dapat dipastikan tidak ada toko dan pasar sepi menjelang Idul Fitri atau akhir-akrhir dari puasa Ramadhan. Bahkan dari sisi ekonomi inflasi terjadi di dua bulan tersebut, karena daya beli masyarakat meningkat tajam dan tidak ada barang yang turun harga, hampir semua barang naik melambung tinggi terutama komoditi-komoditi yang langsung bersinggungan dengan puasa Ramadhan.

Salah satu komoditi itu adalah gula pasir. ya, kebutuhan pokok yang satu ini memang menjadi favorit dan selalu dibutuhkan baik dalam bulan puasa apalahi hari raya untuk membuat kue hari raya dan aneka minuman tetap membutuhkan gula pasir. Menjelang puasa dan hari raya gula pasir terus melambung tinggi harganya bahkan mencapai Rp. 20.000 perkilogram, ini merupakan angka tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. Sayangnya melambungnya harga gula pasir jarang mrnjadi perhatian pemerintah dan pemangku kepentingan di negeri ini. Puasa tahun ini pemerintah sibuk menekan harga sapi dan mengupayakan sapi impor dari Australia dan New Zealand untuk bisa dijual Rp.80.000 sesuai instruksi Presiden Jokowi, nyatanya di pasar penjualan daging sapi belum bisa tidak bisa menjual seperti arahan Presiden tadi, harga sapi tetap naik secara nasional yaitu dikisaran Rp. 130.000 perkilogram. Fakta lain di Aceh dengan fenomena Meugang jelang puasa, harga sapi Rp.130.000 tidak mahal bagi masyarakat Aceh karena di Aceh harga daging sapi tembus angka Rp.170.000 perkilogram dan ini naik dari tahun lalu bahkan dari tahun-tahun sebelumnya.

Terlalu sibuk menjaga dan memantau harga sapi membuat pemerintah kecolongan dan mengabaikan harga gula pasir yang terus menjelit. Ironis memang jika Republik Indonesia yang kaya akan hasil alam dan daerah harus mengimpor gula pasir atau daging sapi dari Negara lain. Seharusnya jika pemerintah peka dan bisa memamfaatkan potensi alam dan sumberdaya, Indonesia bisa swasembada pangan bahkan bisa ekspor ke Negara lain terhadap semua kebutuhan pokok manusia di dunia internasional, entah kenapa?

Gula pasir, untuk tatanan dan tradisi masyarakat Aceh bukan hanya di konsumsi menjelang puasa Ramadhan dan hari Raya Idul Fitri saja, bahkan ada tradisi di masyarakat Aceh bila di undang acara rapat atau duek pakat mau pesta, maka waktu dating ke rumah yang mengundang dibawa gula pasir masing-masing satu kilogram kepada tuan rumah yang mengundang dan gula pasir dibawa pada acara 7 hari seseorang yang meninggal  atau seneujoh kepada keluarga orang yang sedang berduka dan acara tradisional lainnya masyarakat Aceh sering membawa gula pasir sebagai buah tangan dan pengganti uang yang akan diberikan kepada tuan rumah yang mengundang, ini sudah menjadi tradisi turun temurun di masyarakat Aceh.

Mengingat kebutuhan gula pasir bukan hanya salah satu kebutuhan pokok bagi masyarakat Aceh, anehnya gula pasir sampai hari ini masih “diimpor” dari provinsi tetangga, Sumatera Utara. Tidak ada inisiatif oleh pemerintah daerah Aceh untuk membangun pabrik gula pasir di Aceh untuk memenuhi kebutuhan gula pasir di provinsi Aceh, bahkan bahan baku gula pasir sangat mudah ditanam dan dijumpai di Aceh yaitu tebu. Hari ini tebu Aceh hanya untuk minuman yang diperas dari tebu dan gula merah itupun produksinya masih tradisional sekala kecil. Dulu tahun 70-an di Cot Girek Aceh Utara, ada pabrik gula pasir yang diresmikan oleh Presiden Soeharto, tapi sudah lama mati dan tidak beroperasi lagi. Sampai hari ini tidak ada upaya dari pemerintah Aceh untuk membuka kembali atau membangun pabrik gula yang lebih konfrensif. Padahal jika ditelisik kehadiran pabrik gula pasir bisa membuka lapangan kerja baru di Aceh dan petani tebu bisa lebih rajin dan giat menanam tebu, bukan hanya tebu diperas untuk minuman tebu pelepas dahaga saja. Tapi pemerintah Aceh tidak memperhatikan hal itu, bahkan seharusnya ada pemasukan PAD bagi provinsi Aceh. Salah satunya adalah membangun kembali pabrik gula pasir di sejumlah kabupten di Aceh seperti Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara dan Aceh Selatan. Seiring berakhirnya  sektor industri migas Arun di Aceh Utara, seharusnya pemerintah Aceh bisa antisipasi dengan mengembangkan sektor pertanian perkebunan dan perikanan untuk menopang denyut nadi perekonomian di Aceh, karena secara rata-rata kawasan Aceh adalah agraris dan lautan. Petani, pekebun dan nelayan adalah mata pencaharian sebagian besar masyarakat Aceh.

Kiranya pemerintah Aceh melalui dinas-dinas terkait untuk lebih pro aktif dalam hal membangun perekonomian Aceh di dinas-dinas terkait berkaitan erat denga pertanian, perkebunan dan perikanan. Tanah dan air di Aceh sangat potensial untuk pengembangan komoditi dan kebutuhan pokok masyarakat bahkan bernilai ekspor, bukan hanya kop dan sawit saja. Tapi belum ada kinerja positif dari pemerintah Aceh untuk menggenjot sektor agaris tersebut menjadi kemakmuran dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh dan menyumbang PAD bagi daerah Aceh secara umumnya. Minimal dengan pengembangan dan peningkatan sumber daya alam di Aceh, kita bisa memenuhi permintaan pasar lokal di Aceh dan masyarakat bisa membeli komoditi dan kebutuhan pokok dengan murah tanpa bergantung suplai dari Sumatera Utara dan Jakarta. Pemerintah Aceh yang bertanggung jawab terhadap perekonomian dan daya beli dan mengendalikan harga di pasaran bagi masyarakat Aceh.

    

Teuku Rahmad Danil Cotseurani
Auditor
D/A. Kompleks Perumahan PT. AAF (ASEAN)
Krueng Geukueh -Aceh Utara - Aceh  24354



No comments:

Post a Comment