Bangun Pabrik Gula Pasir di Aceh
Puasa Ramadhan tahun ini baru saja berlalu dan kita menyongsong hari
kemenangan yang telah setelah kita berpuasa sebulan penuh di bulan yang mulia
lebih baaik dari seribu bulan, Ramadhan Mubarak. Idul Fitri yang dinanti, dimana
pada bulan ini saling maaf-maafan dan kunjung mengunjungi sesama saudara dalam
ikatan jalin silaturahmi.
Fenomena yang terjadi kala ummat muslim menyambut dua bulan tersebut
yaitu puasa Ramadhan dan hari raya Idul Fitri di bulan Syawwal adalah konsumsi
dan daya beli yang meningkat tajam, dapat dipastikan tidak ada toko dan pasar
sepi menjelang Idul Fitri atau akhir-akrhir dari puasa Ramadhan. Bahkan dari
sisi ekonomi inflasi terjadi di dua bulan tersebut, karena daya beli masyarakat
meningkat tajam dan tidak ada barang yang turun harga, hampir semua barang naik
melambung tinggi terutama komoditi-komoditi yang langsung bersinggungan dengan
puasa Ramadhan.
Salah satu komoditi itu adalah gula pasir. ya, kebutuhan pokok yang
satu ini memang menjadi favorit dan selalu dibutuhkan baik dalam bulan puasa
apalahi hari raya untuk membuat kue hari raya dan aneka minuman tetap
membutuhkan gula pasir. Menjelang puasa dan hari raya gula pasir terus
melambung tinggi harganya bahkan mencapai Rp. 20.000 perkilogram, ini merupakan
angka tertinggi dalam beberapa dekade terakhir. Sayangnya melambungnya harga
gula pasir jarang mrnjadi perhatian pemerintah dan pemangku kepentingan di
negeri ini. Puasa tahun ini pemerintah sibuk menekan harga sapi dan
mengupayakan sapi impor dari Australia dan New Zealand untuk bisa dijual
Rp.80.000 sesuai instruksi Presiden Jokowi, nyatanya di pasar penjualan daging
sapi belum bisa tidak bisa menjual seperti arahan Presiden tadi, harga sapi
tetap naik secara nasional yaitu dikisaran Rp. 130.000 perkilogram. Fakta lain
di Aceh dengan fenomena Meugang jelang puasa, harga sapi Rp.130.000 tidak mahal
bagi masyarakat Aceh karena di Aceh harga daging sapi tembus angka Rp.170.000
perkilogram dan ini naik dari tahun lalu bahkan dari tahun-tahun sebelumnya.
Terlalu sibuk menjaga dan memantau harga sapi membuat pemerintah
kecolongan dan mengabaikan harga gula pasir yang terus menjelit. Ironis memang
jika Republik Indonesia yang kaya akan hasil alam dan daerah harus mengimpor
gula pasir atau daging sapi dari Negara lain. Seharusnya jika pemerintah peka
dan bisa memamfaatkan potensi alam dan sumberdaya, Indonesia bisa swasembada
pangan bahkan bisa ekspor ke Negara lain terhadap semua kebutuhan pokok manusia
di dunia internasional, entah kenapa?
Gula pasir, untuk tatanan dan tradisi masyarakat Aceh bukan hanya di
konsumsi menjelang puasa Ramadhan dan hari Raya Idul Fitri saja, bahkan ada
tradisi di masyarakat Aceh bila di undang acara rapat atau duek pakat mau
pesta, maka waktu dating ke rumah yang mengundang dibawa gula pasir
masing-masing satu kilogram kepada tuan rumah yang mengundang dan gula pasir
dibawa pada acara 7 hari seseorang yang meninggal atau seneujoh kepada keluarga orang yang
sedang berduka dan acara tradisional lainnya masyarakat Aceh sering membawa
gula pasir sebagai buah tangan dan pengganti uang yang akan diberikan kepada
tuan rumah yang mengundang, ini sudah menjadi tradisi turun temurun di
masyarakat Aceh.
Mengingat kebutuhan gula pasir bukan hanya salah satu kebutuhan pokok
bagi masyarakat Aceh, anehnya gula pasir sampai hari ini masih “diimpor” dari
provinsi tetangga, Sumatera Utara. Tidak ada inisiatif oleh pemerintah daerah
Aceh untuk membangun pabrik gula pasir di Aceh untuk memenuhi kebutuhan gula
pasir di provinsi Aceh, bahkan bahan baku gula pasir sangat mudah ditanam dan
dijumpai di Aceh yaitu tebu. Hari ini tebu Aceh hanya untuk minuman yang
diperas dari tebu dan gula merah itupun produksinya masih tradisional sekala
kecil. Dulu tahun 70-an di Cot Girek Aceh Utara, ada pabrik gula pasir yang
diresmikan oleh Presiden Soeharto, tapi sudah lama mati dan tidak beroperasi
lagi. Sampai hari ini tidak ada upaya dari pemerintah Aceh untuk membuka
kembali atau membangun pabrik gula yang lebih konfrensif. Padahal jika
ditelisik kehadiran pabrik gula pasir bisa membuka lapangan kerja baru di Aceh
dan petani tebu bisa lebih rajin dan giat menanam tebu, bukan hanya tebu
diperas untuk minuman tebu pelepas dahaga saja. Tapi pemerintah Aceh tidak
memperhatikan hal itu, bahkan seharusnya ada pemasukan PAD bagi provinsi Aceh.
Salah satunya adalah membangun kembali pabrik gula pasir di sejumlah kabupten
di Aceh seperti Aceh Tengah, Bener Meriah, Aceh Utara dan Aceh Selatan. Seiring
berakhirnya sektor industri migas Arun
di Aceh Utara, seharusnya pemerintah Aceh bisa antisipasi dengan mengembangkan
sektor pertanian perkebunan dan perikanan untuk menopang denyut nadi
perekonomian di Aceh, karena secara rata-rata kawasan Aceh adalah agraris dan
lautan. Petani, pekebun dan nelayan adalah mata pencaharian sebagian besar
masyarakat Aceh.
Kiranya pemerintah Aceh melalui dinas-dinas terkait untuk lebih pro
aktif dalam hal membangun perekonomian Aceh di dinas-dinas terkait berkaitan
erat denga pertanian, perkebunan dan perikanan. Tanah dan air di Aceh sangat
potensial untuk pengembangan komoditi dan kebutuhan pokok masyarakat bahkan
bernilai ekspor, bukan hanya kop dan sawit saja. Tapi belum ada kinerja positif
dari pemerintah Aceh untuk menggenjot sektor agaris tersebut menjadi kemakmuran
dan kesejahteraan bagi masyarakat Aceh dan menyumbang PAD bagi daerah Aceh
secara umumnya. Minimal dengan pengembangan dan peningkatan sumber daya alam di
Aceh, kita bisa memenuhi permintaan pasar lokal di Aceh dan masyarakat bisa
membeli komoditi dan kebutuhan pokok dengan murah tanpa bergantung suplai dari
Sumatera Utara dan Jakarta. Pemerintah Aceh yang bertanggung jawab terhadap
perekonomian dan daya beli dan mengendalikan harga di pasaran bagi masyarakat
Aceh.
Teuku Rahmad
Danil Cotseurani
Auditor
D/A.
Kompleks Perumahan PT. AAF (ASEAN)
Krueng
Geukueh -Aceh Utara - Aceh 24354
No comments:
Post a Comment