Oleh Teuku Rahmad Danil
Cotseurani
Melihat
Fakta sejarah, banyak ahli ilmu sejarah dan sosial setuju bahwa Aceh punya
karakter tersendiri yang membedakan daerah ini dengan daerah lainnya di
Indonesia maupun dunia. Di antaranya, barangkali bisa dilihat dari peran
uleebalang tempo dulu dalam membentuk tatanan pemerintahan dan sosial
kesultanan Aceh tidak bisa diabaikan. Para uleebalang dipercayai sebagai bagian
dari suara yang mewakili rakyat sipil dan militer Aceh ketika itu. Para
uleebalang pun memiliki posisi stategis dan wilayah “kekuasaan” dan Onderafdeling atau Kewedanan, Landschap masing-masing.
Uleebalang (Melayu:
Hulubalang ) adalah golongan bangsawan dalam
masyarakat Aceh yang memimpin
sebuah kenegerian atau Nanggroe, yaitu wilayah
setingkat kabupaten dalam struktur pemerintahan Indonesia sekarang. Ulee
balang digelari dengan gelar Teuku untuk laki-laki atau Cut untuk perempuan.
Uleebalang,
ditetapkan oleh adat secara turun-temurun. Mereka menerima kekuasaan langsung
dari Sultan Aceh. Uleebalang ini merupakan penguasa nanggroe atau
raja-raja kecil yang sangat berkuasa di daerah mereka masing-masing. Sewaktu
mereka memangku jabatan sebagai Uleebalang di daerahnya, mereka harus disahkan
pengangkatannya oleh Sultan Aceh. Surat Pengangkatan ini
dinamakan Sarakata yang dibubuhi stempel Kerajaan Aceh Cap Sikureung.
Sejarah juga
mencatat hingga tahun 1940 di Aceh ketika itu terdiri dari Landschap Sigli
terdiri dari Pidie (XII Mukim), Aree (II
Mukim), Iboih, Aron (III Mukim), Ie Leubeue (VI Mukim), Ndjong, Glumpang Payong
(III Mukim), Sama Indra, Bambi dan Oenoe (III Mukim), Kroeen, Seumideuen,
Pineung (III Mukim), Gighen (Gigieng). Landschap
Lam meulo terdiri dari Cumbok (V Mukim), Titeu (II Mukim), Troeseb (II
Mukim), Keumala (II Mukim), Me Tareuem, Andeue dan Lala, Ilot, Tangse, Geumpang.
Landschap Padang Tiji terdiri dari
Kale (V Mukim), Laweueng dan Reubee (V Mukim), landschap Meureudu terdiri dari Meureudu,
Trieng Gading dan Pante Raja. Landschap Lhokseumawe terdiri dari Lhokseumawe,
Sawang,Nisam, Cunda, Blang Me, Bayue, Blang Mangat, Sama Kuro, Bloe, Geudong . Landschap Lhoksukon terdiri dari
Kroeng Pase, Keureuto (dan daerah takluknya), Matang Koeli, Peuto.
Landschap Idi terdiri dari Idi
Rayeu, Idi Cut, Tanjong Seumanto dan Meureubo, Simpang Olim (Simpang
Ulim),Bugeng dan Bagok, Peudawa Rayeu, Julok Cut, Julok Rayeuk. Lanschap Langsa
terdiri dari Peureulak, Langsa, Soengoe Raya. Landschap Tamiang terdiri
dari Kejurun Karang, Raja Bendahara, Sungai Ijoe, Kejurun Muda, Sutan Muda.
Lanschap Calang terdiri dari Kluang, Kuala Daya, Lambeusoe (dan daerah
takluknya, yang meliputi Lam Me dan Lam No), Unga (dan daerah takluknya, yang
meliputi Pante Caureumen), Lhok Kroeet, Patek, Lageuen (termasuk Lhok Gloempang
dan Raneue), Rigaih, Kroeng Sabe,Teunom.
Landschap Meulaboh terdiri dari Woyla,
Boebon, Lhok Boebon, Kaway XVI (Meulaboh), Seunagan, Seuneuam, Beutong,
Tungkop, Pameue. Landschap Tapak Tuan terdiri dari Kuala Batee, Susoh, Blang
Pidie (Blang Pedir), Manggeng, Lhokpawoh
Utara, Labuan Haji (Labohan Adji), Meukek, Sama Dua, Lhok pawoh Selatan, Tapa
Tuan (Tapak Tuan), Kluet. Landschap Singkil dan Trumon.
Landschap Takengon terdiri dari Rojo
Cek Bobasan, Kejuron Buket (Bukit), Kejuron Siah Utama,Kejuron Linggo,
Landschap Kejuron Serbojadi Abok atau Abok (Abu). Landschap Gayo Lueus dan
Kejuron Petiambang. Landschap Alas terdiri dari Kejuron Bambel, Kejuron Pulo
Nas (Batu Mbulen). Landschap Simalur terdiri dari Tapah (Teupah), Simalur
(Simuelue), Salang, Lekom, Siguele (Sikhuele). Kesemua landschap itu yang dipimpin oleh Teuku-Teuku.
Terlepas dari peristiwa berdarah
perang Cumbok yang terjadi perang saudara sesama orang Aceh, antara Teuku dan
Teungku. Kini, sudah peristiwa itu merupakan lembaran hitam sejarah dan sepakat
dilupakan dan dikubur seiiring dengan perjalanan waktu dan tidak mendendam
hingga ke anak cucu.
Karakter
serta kekhassan Aceh itu sendiri diantara suku dan orang Aceh lainnya adalah
gelar Teuku dan Cut yang disandang didepan nama sebagian besar keturunan orang
Aceh yang seolah-olah menasbihkan bahwa kita adalah sudah pasti orang Aceh.
Bila di Sumatera Utara dan Maluku serta beberapa daerah lain di Indonesia
mereka punya marga dan biasanya marga tersbut disandang di belakang nama, lain
halnya dengan Aceh gelar itu ada didepan nama seseorang.
Setelah
sekian tahun pasca perang bersaudara,dalam hal ini perang Cumbok bukan perang
dengan Belanda, Jepang, Sekutu maupun dengan Republik Indonesia di Aceh,
keturunan uleebalang dalam hal ini mereka yang bergelar Teuku dan Cut banyak
yang terpisah, berdiaspora, menyebar ke seluruh
Indonesia dan dunia dengan menempati posisi
strategis baik di pemerintahan, perusahaan maupun swasta dan bahkan
menikah dengan orang yang bukan dari garis keturunan biasanya yang perempuan
mereka yang bergelar Cut menikah dengan orang yang tidak bergelar teuku dengan
otomatis anak keturunan mereka tidak berhak menyandang gelar Teuku dan Cut.
Beda halnya jika laki-laki yang bergelar Teuku menikah dengan perempuan yang
bukan Cut masih berhak untuk anak keturunan mereka disematkan Teuku dan Cut
didepan nama. Hal ini karena kita di Aceh dan ummat Islam menganut sistim Patrilineal
(garis keturunan dari ayah/laki-laki).
Sebab karena
terpisah dan pecah puluhan tahun adalah inisiasi Teuku Mufizar Abdullah untuk
menyatukan kembali para keturunan serta keluarga ulee balang dalam suatu wadah
perkumpulan, organisasi sosial dan paguyuban maka dibentuklah Wareeh KUB (Wareeh
Keluarga Ulee Balang) Aceh pada tanggal 11 Desember 2015 di Banda Aceh. Wadah
ini untuk bersilaturahmi dan saling kenal mengenal kembali sesama para wareeh
yang sudah terpisah dan berdiaspora dengan media sosial utama adalah whatsapp
(WA) sebagai jejaring sosial di internet.
Dalam Usia
yang berumur satu tahun perkumpulan/organisasi sosial Wareh KUB Aceh terus
berupaya mencari dan menelusuri jejak persaudaraan sesama wareeh keluarga ulee
balang, melalui media sosial, telepon, kopi darat atau pertemuan langsung
sambil minum kopi bersama dan puncaknya adalah pada acara Halal Bi Halal yang
digelar sesudah hari raya Idul Fitri 1437 Hijriah, tepatnya tanggal 23 Juli
2016 di gedung Prof. Ali Hasymi, Darussalam, Banda Aceh. Dengan tema Mejaut
Persaudaran dan Memperkuat Solidaritas Wareeh KUB Aceh. Dan juga turut dihadiri
oleh sesepuh Sultanah Cut Putroe Cahya Nur Alam Ben Tuanku Raja Ibrahim Yusuf
Ben Sultan Alaiddin Daud Syah Zilullahi Fil Alam. Sebagai pewaris langsung
kesultanan Aceh.
Diusianya
yang baru seumur jangung, Wareeh KUB Aceh sudah membentuk struktur pengurus dan
susunan organisasi dewan pimpinan pusat Wareeh KUB Aceh masa bakti 2016 – 2021
yang diisi oleh nama-nama yang sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Aceh
untuk mengisi pos-pos di dewan pelindung, penasehat, pembina, pengurus
seperti Teuku Samsul Bahri bin Teuku
Nyak Arief, Teuku Zainoel Arifin bin Teuku Panglima Polem, Cut Cahyarani Bitai,
Teuku Iwan Djohan dan lain-lain. Uniknya dari ketiga nama calon wakil gubernur
2017-2022 diantaranya Teuku A Khalid, Teuku Machsalmina Ali dan T. Alaidinsyah
semuanya masuk dalam struktur organisasi Wareeh KUB Aceh, walaupun berbeda
warna partai dan politik namun tetap bersatu dalam ukhwah dan persaudaraan
sesama keluarga besar Wareeh KUB Aceh. Walaupun sudah menyebar diseluruh
Indonesia dan kancah Internasional.
Bila
kita merunut fakta sejarah para Uleebalang tidak bisa lepas dengan sistim
pemerintahan era masa kerajaan dan sering pergeseran sistim perpolitikan di
Indonesia pada umumnya yang beralih ke era demokrasi, peran serta para
Uleebalang sedikit tergurus ileh zaman dimana power society bukan hanya dari
kalangan para Uleebalang tapi sudah umum pada masyarakat pada umumya karena
keilmuan, ketokohan dan kesetaraan gender. Secara
politik, komunitas atau paguyuban memang tidak bisa menggerakkan agenda-agenda
demokrasi namun sedikit banyaknya menjadi warna tersendiri di negara kesatuan
Republik Indonesia. Semangat keberagaman dalam
memupuk perbedaan dan kebhinekaan kita harus tetap dikedepankan di alam yang
sedang menuju jalan berliku konsolidasi demokrasi yang sejati. Untuk menata
kembali demokrasi sejak awal sehingga cita-cita pembangunan dan nasionalisme
tidak pecah berantakan dan hancur berleping atas nama
perpecahan. Perbedaan adalah anugerah dari yang maha kuasa. Nah!